Assalamu'alaikum Kak Wien

Kopi Pagi ……..

Ilustrasi dari berbagai pengalaman perjalanan hidup manusia….

Berseteru karena Cemburu

Sejak awal, Mia tidak ingin repot dengan urusan anak yang riuh rendah. Tetapi keinginan untuk punya anak ada. Betapapun, rasanya belum lengkap pernikahan tanpa hadirnya keturunan. Itu sebabnya, dari awal menikah Mia merasa perlu membicarakan dengan suaminya.

“Saya mau punya anak satu,” kata Mia, “Biar bisa mendidik dengan lebih baik, bisa memberi perhatian yang optimal, dan mengembangkan seluruh potensi anak.”

Mia berharap-harap cemas menunggu reaksi suaminya. Mia sengaja mendahului mengutarakan gagasannya karena dia merasa masalah ini sangat prinsip baginya. Entah kenapa, suaminya masih diam saja.

“Kalau Mas sendiri ingin punya anak berapa?” Tanya Mia.

“Saya sih . . . ,” kata suaminya, “. . . ingin punya anak sembilan.”

Jawaban yang tak terduga. Jawaban yang sama sekali tak diharapkan Mia. Begitu mengejutkan, sehingga Mia tak bisa dengan cepat menyikapinya dengan baik. Salah satunya karena dia tahu jawaban suaminya sangat serius.

Ah . . . , tetapi kebahagiaan pengantin baru dengan cepat mengalahkan semua kerisauannya. Dan tak lama, di mengandung anak pertama, anaknya yang kemudian dia perlakukan sebagai anak tunggal. Selalu mencurahkan perhatian besar dan kadang lupa membedakan antara kasih sayang dengan memanjakan. Tanpa sadar, Mia sering mengajak bercanda anaknya yang semata wayang dengan kata-kata yang menjadikan anak mersa sebagai satu-satunya. Tak pernah Mia mengajak anak untuk membayangkan indahnya punya saudara.

Ketika anak mulai beranjak besar, Mia mulai merasa kerepotan. Satu anak saja sudah sangat repot, apalagi kalau dua. Mia mencoba meyakinkan suaminya ketika lelaki yang menikahinya empat tahun lalu itu mulai mengajaknya bicara tentang kemungkinan punya anak lagi. Sekali lagi, Mia ingin menunjukan kepada suaminya, repot sekali punya anak dua kalau yang pertama saja belum mandiri.

“Nantilah, Mas kalau anak kita sudah usia empat tahun. Kalau adik sudah masuk TK, kita bisa merencanakan punya anak lagi,” kata Mia. Suaminya setuju. Dan Mia kembali menghadapai kesibukan melayani anaknya yang semata wayang, Nisa .

Sudah 3 tahun usia Nisa sekarang. Aduh, anak yang manis itu kini sangat menyusahkan. Mandi susah, makan susah, sikat gigi apalagi. Kalau sudah di depan televisi, malas sekali beranjak meski sekadar untuk mengambil sendok. Lagi-lagi Mia dan suaminya yang harus sibuk dengan semua itu, tanpa mengingat bahwa anak harus belajar mandiri. Kadang kita sulit membedakan antara menyayangi dan memanjakan, sehingga karena takut memanjakan, kita kurang memberikan kasih sayang pada anak-anak kita. Sebaliknya, karena ingin menyayangi, kita keliru memanjakan.

Menjelang anaknya berusia 4 tahun, Mia mulai hamil. Saat anaknya memasuki usia 4,5 tahun lebih sedikit, Mia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Tangisnya keras memecah kesunyian.

Hari-hari pertama, Nisa sangat senang punya adik. Tetapi setelah satu minggu, kecemburuannya mulai tampak. Setelah adiknya lahir, perhatian ibunya memang jauh berkurang. Nisa mulai menyerang adiknya. Tak cukup dengan itu, belakangan Nisa menunjukan perlawanan. Kerap kali dia melarang ibunya meninabobokkan si adik. “adik sama Bapak aja,” teriak Nisa

Tak pelak, suami Mia yang harus menggendong dan menangani si kecil kalau Nisa sedang menampakkan perlawanannya. Mia sendiri kerap menyalahkan keinginan suaminya untuk punya anak lagi, sehingga menjadi pembenaran Nisa untuk menunjukan perlawanan. Keinginan Nisa untuk menguasai ibunya hanya untuk dia saja, seakan gayung bersambut dengan sikap ibunya.

Tetapi . . . .

Mia akhirnya merasa sangat kerepotan. Bagaimanapun juga, Mia harus memberi perhatian kepada anak lelakinya. Kalau Nisa terus mengganggu, Mia tak bisa mengurus si kecil dengan baik. Masalahnya, Nisa sudah terlanjur “menguasai ibunya” kalau sedang minta diperhatikan. Semakin dituruti keinginannya, rasa cemburu Dita terhadap adiknya justru semakin besar. Bukan semakin reda. Sekarang, baru menyusui si kecil sebentar saja, Nisa sudah menunjukkan marahnya. Sudah tak kurang-kurang Mia menyampaikan kepada Nisa bahwa sebagai kakak, Nisa harus sayang sama adik. Tetapi, Nisa semakin keras saja. Rasa cemburunya semakin menyala-nyala.

Apa yang salah sebenarnya dengan Nisa? Tak ada yanga salah. Nisa berseteru dengan adiknya karena cemburu. Bahasa psikologinya sibling rivalry (persaingan antarsaudara). Rasa cemburunya besar, dan bahkan cenderung menolak adik, karena memang dia diperlakukan sebagai anak tunggal oleh ibunya. Pada saat yang sama, Mia sebagai ibunya tidak mempersiapkan anak untuk memiliki adik. Dia tidak menumbuhkan keinginan, harapan, dan bayangan tentang apa yang bisa Nisa lakukan untuk adiknya kelak. Mia juga tidak menata mental anak menghadapai perubahan menjelang adiknya lahir.

Seperti Mia, banyak diantara kita yang tidak merencanakan kelahiran dengan baik. Anak-anak kita punya adik karena adiknya memang sudah lahir. Ia lahir begitu saja. Dan tiba-tiba sesudah kelahiran, segala sesuatu berubah. Kita juga sendiri berubah. Berubah karena harus ada yang kita hadapi, anak kita yang baru lahir denga tangis dan pipisnya. Kita berubah bukan karena secara sengaja merencanakan untuk berubah, mengiringi kelahiran anak kita.

Ujung-ujungnya, kita terjebak oleh ketakutan dan mendapat pembenaran dari repotnya menangani anak. Punya anak satu saja repot, apalagi dua. Punya anak dua lebih repot, kok mau tiga. Padahal hitung-hitungnya tidak demikian. Punya anak satu memang repot, karena sumber perhatian anak hanya dari orangtua. Punya anak dua? Sama saja. Sama-sama repot, karena mereka cenderung bersaing berebut perhatian. Tetapi tidak kalau anak sudah tiga atau empat. Mereka akan belajar bekerja sama. Tetapi, bukankah melalui peristiwa semacam ini mereka belajar keadilan? Sayangnya sumbu emosi kita begitu pendek sehinnga mudah naik pitam saat mereka bertengkar. Apalagi kalau kita sedang capek.

Saya tidak berpanjang-panjang dengan ini, sebab masalah paling pokok umumnya adalah sikap kita yang tidak mau direpoti oleh anak. Berapapun anak yang kita asuh kalau kita memang tidak mau repot, kehadiran mereka akan sangat merepotkan kita, sekalipun mereka sudah menjadi anak-anak manis yang sangat menyenangkan. Seperti halnya keengganan kita menemani anak dengan berlindung di balik ungkapan terindah yang pernah saya dengar,

“Yang paling penting kan kualitas, bukan banyaknya waktu yang kita habiskan bersama anak.”

Kita ungkapkan itu dengan mantap, tetapi lupa menakar waktu berkualitas itu yang seperti apa. Kita juga lupa bertanya, waktu berkualitas itu menurut kita atau menurut anak. Jangan-jangan yang kita anggap waktu berkualitas bersama anak, sesungguhnya bagi anak sama saja dengan waktu-waktu lain. Sama-sama tak berarti. Sama-sama membosankan.

Berawal dari sikap tidak mau direpoti anak, jalan pintas kerap menjadi pilihan yang kita ambil tanpa sadar. Begitu anak menangis, atau bikin kita merasa repot-termasuk repot karena pertanyaan-pertanyaan cerdas anak-cepat-cepat kita berikan televisi pada mereka. Kita berikan mereka mimpi-mimpi tentang asyiknya melihat benda ajaib benama televisi, “Eee, coba. Kita lihat, yuk . . . . Bagus lho acara televisinya.” Anakpun segera bergegas lari mematut diri di depang televisi. Lama sekali. Begitu lamanya sampai-sampai kita lupa bahwa amat banyak hal yang telah mempengaruhi otak dan diri anak, hingga ketika beberapa waktu kemudian tampak perilaku yang tidak menentramkan hati, kita marah pada cara televisi. Anehnya, kita tetap rawat dan sayang-sayangi kotak kaca ajaib itu.

Ah . . . , betapa anehnya kita hari ini. Merusak tapi dicintai. Atau saya yang semakin bodoh? Tidak mampu memahami bahwa hidup di dunia modern memang harus memiliki semua yang disebut modern?

Baiklah, kita kembali berbincang tentang televisi. Sekurangnya ada dua hal yang membuat kita perlu mempertimbangkan kembali kehadiran televisi di rumah kita, sekurangnya mengurangi kehadirannya dalam kehidupan anak kita. Pertama, televisi menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan merusak terutama sekali kecerdasan spasial di otak sebelah kanan. Kedua, semakin banyak nonton televisi, anak semakin kurang bergerak. Padahal, seperti yang ditukis Carla Hannaford, Ph.D. dalam Smart Moves: Why Learning is not All in Your Head, gerakan membangkitkan dan mengaktifkan kapasitas mental kita. Gerakan menyatukan dan menarik informasi-informasi baru ke dalam jaringan neuron kita. Gerakan sangat vital bagi semua tindakan untuk mewujudkan dan mengungkapkan pembelajaran kita, pemahaman kita dan diri kita.

Alhasil, jangan terkejut jika anak kita mengalami gangguan mental maupun gangguan belajar, sementara kita tahu dengan pasti bahwa ia sejak kecil selalu ditimang-timang oleh televisi. Jangan bertanya, gen siapa yang menyebabkan anak bermasalah sehingga menampakkan perilaku seperti anak autis jika kitalah sebenarnya sebagai orangtua yang memperlakukan mereka secara autis. Kita jarang mau bicara karena setiap kali mereka rewel, cepat-cepat kita menyalakan televisi.

Tetapi, bukan ini perbincangan kita saat ini. Saya sebenarnya cuma mau bertutur bahwa kecemburuan anak tehadap adiknya, lebih-lebih yang sampai pada tingakat menolak, sebenarnya kerap kali bersumber pada sikap awal kita. Saya Cuma nau berbincang bahwa tingkah laku mereka yang sangat merepotkan, tidak jarang justru berawal dari sikap kita yang tidak mau direpoti anak. Meski pada sebagian besar kasus, perilaku mereka yang bikin kita geleng-geleng kepala dan mebuat ibunya mengelu-elus dada sebenarnya karena kecerdasan mereka yang luar biasa.

Pada usia di bawah 10 tahun, kadang bahkan berlanjut hingga usia sesudahnya, manifestasi kecerdasan itu adalah gerakannya yang sangat aktif. Sesudahnya adalah kemampuan berpikir yang sangat krtis, cerdas dan kreatif.

Emmm . . . jangan salah paham. Saya bukan orangtua yang luar biasa. Saya masih merasa betapa merepotkannya mereka. Saya juga masih sering marah. Tetapi, tak ada lagikah bagi kita ruang untuk saling bertegur-sapa, saling mengingatkan, saling menasihati, dan termasuk saling memberi tahu agar tidak melelahkan diri sendiri dengan sumber pengaruh yang kita tidak mampu mengendalikan isinya sepuluh menit yang akan datang, yakni televisi?

Heee…. semoga bermanfaat…..

Info Konsultasi Anak :

“Kak Wien Centre”

Phone : 021 87987089 ( Sdri. Devi / Nurul )

Comments :

0 komentar to “Assalamu'alaikum Kak Wien”

SEMINAR PSIKOLOGI ( Sasaran Orang tua dan pelaku Pendidikan)

SEMINAR PSIKOLOGI ( Sasaran Orang tua dan pelaku Pendidikan)
Tujuan : Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada orang tua tentang perkembangan psikologi dan perkembangan emosional anak, sehingga bisa mencari solusi permasalahan anak dengan tepat.

"SMART Parenting Bina Kreatif Kids Care"

"SMART Parenting Bina Kreatif Kids Care"
"Sekolah yang baik adalah sekolah yang bisa meng-akumudir style dan potensi anak, jadi sekolah yang favorit menurut kebanyakan orang belum tentu baik untuk anak kita."Cuplikan dialog (Red)

KANTOR " BINA KREATIF "

KANTOR " BINA  KREATIF "
Alhamdulillah Kantor sekaligus tempat berbagi pengetahuan tumbuh kembang anak telah dioprasikan. Ingin Info lebih banyak silahkan Hubungi Management BKKC : 021 95192514 semoga banyak manfaatnya. Amin.

TEAM BINA KREATIF KIDS CARE

TEAM  BINA KREATIF KIDS CARE
Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing - masing , tugas kita sebagai orang tua hanyalah membimbing , mengarahkan dan mendidiknya dengan baik. Kesabaran dalam mengasuh anak adalah kunci utama keberhasilan menjadikan anak - anak yang hebat , berakhlaq dan cerdas.
 

INFO 2009

INFO  2009

CONSULTING INFORMATION

CONSULTING  INFORMATION

INGIN KONSULTASI PSIKOLOGI

INGIN  KONSULTASI PSIKOLOGI