KOPI PAGI "BINA KREATIF"

“Bina Kreatif” talks about………….

TK Sebagai Sarana Persiapan Untuk SD

Bisa dikatakan TK seperti “kawah candradimuka”-nya anak-anak sebelum mereka memasuki jenjang sekolah dasar. Mengapa dikatakan demikian? Karena banyak sekali keuntungan yang didapat anak dibangku taman kanak- kanak dibandingkan anak yang tidak pernah di TK tetapi langsung masuk SD. Anak yang duduk di bangku TK memiliki peluang yang lebih besar untuk mengembangkan ketrampilan – ketrampilan dasar sehingga pada saat akhir tahun ajaran anak sudah siap mengikuti pelajaran di tingkat sekolah dasar yang tentunya menuntut pola berpikir berbeda dibandingkan dengan saat anak masih di TK.Sudah banyak wacana yang muncul tentang apa saja yang seharusnya diajarkan di TK. Perlukah anak – anak kita belajar membaca, menulis, dan berhitung di usia TK? Ada yang menjawab perlu karena melihat perkembangan dunia yang semakin maju(sehingga dengan semangat mengikutkan anaknya les baca tulis). Namun ada juga yang berpendapat tidak perlu karena dampak negatifnya pada perkembangan emosional anak. Tapi ada satu kata sepakat, bahwa dunia anak adalah dunia bermain.

Banyak sekali sekolah-sekolah TK yang menawarkan metode belajar sambil bermain. Namun yang harus dicermati apakah hal itu sudah berjalan sebagaimana mestinya. Banyak sekolah yang sudah (atau lupa????) tidak menjalankan komitmen ini. Bahkan ironisnya ada TK yang menganggap sekolahnya berhasil bila dapat membuat anak didiknya cepat membaca, menulis, dan berhitung. Banyak orang tua khususnya wali murid TK yang mengeluhkan anaknya tidak mau belajar,maunya main melulu, kalau diajari susah, tidak mau menurut, dan lain- lain. Kedengarannya jadi lucu, mengapa para orangtua jadi begitu khawatir kalau anaknya lebih senang bermain ketimbang belajar? Bukankah dunia anak- anak ini adalah bermain? Kita tidak boleh menyepelekan makna bermain bagi anak diusia ini. Bagi anak-anak, bermain sama halnya dengan belajar. Belajar untuk bersosialisasi, bekerjasama, empati, kemandirian, setia kawan,menahan keinginan dan segudang manfaat positif lainnya.Bahkan kata pakar psikologi perkembangan anak nih….. bermain bagi anak bisa sebagai sarana untuk melepaskan beban diri alias depresi psikologi. Dengan bermain anak memiliki sarana untuk menetralkan suasana hatinya yang sedang kacau.

Yang terpenting dan harus disadari adalah masa anak – anak awal ( 2 sampai dengan 7 tahun) berada dalam tahap praoperasional. Ini berarti melihat segala sesuatu terbatas pada hal – hal yang bisa diamati atau diobservasi. Semua yang dilihat oleh anak dianggap sebagai bagian dari dirinya. Anak usia ini bisa dikatakan berada dalam fase persiapan berpikir operasional.Sebelum kita sampai pada pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita mengenal dulu ya… apa saja sih yang sering terjadi pada rentang usia 2 sampai 7 tahun.

Lebih senang bermain,
Mengutip ungkapan tokoh pendidikan Maria Montesori bahwa pekerjaan anak- anak adalah bermain. Dengan bermain anak memiliki media untuk menguji berbagai kemampuan diri, bereksperimen dengan peran- peran yang ada, belajar mengolah emosi, mengurangi ketegangan, dan melatih motorik kasar maupun motorik halus.

2. Membentuk kelompok bermain,
Anak mengalami masa transisi dan lebih dekat dengan teman- teman bermainnya ketimbang mendengarkan nasihat dan menuruti keinginan orang tuanya.

3.Berada dalam tahapan eksplorasi.
Periode eksplorasi ini sebenarnya merupakan masa emas anak dalam mengembangkan rasa ingin tahunya dan menandakan adanya perkembangan kognitif. Pada masa ini orang tua harus siap dengan serangan pertanyaan yang bertubi- tubi dari anak.Seringkali orang tua dibuat bingung dengan pertanyaan yang sulit dijawab dan kalaupun bisa dijawab si anak justru tidak paham dengan jawaban orang tua.Yang lebih menggemaskan lagi kalau anak mulai menanyakan sesuatu berulang- ulang. Tetapi semua ini harus disikapi dengan bijaksana, karena konon katanya anak yang sering bertanya menandakan anak kita kritis, cerdas, dan kreatif.

4. Membentuk konsep diri.
ANak mulai mengenal siapa dirinya. Pengenalan terhadap identitas diri membuat anak mulai mengerti perbedaan peran pada masing- masing orang. Anak mulai menunjukkan ke”aku”an nya.Disatu sisi ia merasa sudah bisa melakukan segalanya sendiri, tetapi disisi lain ia masih butuh bantuan ayah dan ibunya.Kondisi ini seringkali membingungkan bagi anak.

5. Sering berimajinasi
Diusia ini daya imajinasi anak sangat tinggi melebihi batas penalaran orang dewasa.Mungkin kita sering melihat anak kita berpura- pura menjadi superman atau menjadi naruto, bahkan ada yang berimajinasi dikejar raksasa. Daya imajinasi ini terjadi karena anak belum paham mana yang realita dan mana yang hanya khayalan.Namun sejalan dengan usia biasanya kebiasaan berkhayal mulai berkurang. Ini dimungkinkan karena pemahaman anak terhdap realita hidup bertambah.

6. Munculnya sifat negative,
Sifat negative seperti tidak menurut, keras kepala,negativisme,dan iri hati sering kali muncul dalam keseharian anak.Nah yang pertama harus dilakukan orang tua tidak boleh mencap anak sebagai anak bandel, nakal, bodoh, dsb.karena itu semua akan membekas dalam diri anak sampai anak dewasa. Orang tua sebaiknya menerapkan disiplin yang konsisten berikut dengan konsekuensi yang harus diterima anak apabila melanggar aturan.Tentu saja semua aturan tersebut harus disepakati bersama dengan anak.

Dengan melihat karakter anak seperti yang sudah dijabarkan diatas, tentunya kita semakin paham tentang apa dan bagaimana seharusnya anak – anak kita ini belajar.
Adapun yang harus dipersiapkan di taman kanak-kanak adalah:

Kemampuan dasar skolastik,adalah kemampuan untuk mendengarkan dan berkonsentrasi.Di TK walaupun jam sekolah umumnya dua setengah jam, hal seperti ini sudah diajarkan.Kapan anak harus mendengarkan dan kapan anak harus mengerjakan tugas- tugas yang diintruksikan bu guru.
Kemampuan motorik dan gerak, disekolah anak lebih banyak bermain dengan harapan agar gerak anak lentur dan halus. Misalnya, berlarian, menaiki tangga, menggunting, menempel, meremas- remas, dll.
Kemampuan mengenal emosi dan kehidupan sosial,meliputi kemampuan mengelola emosi, belajar berempati, memahami masalah pribadi dan helping people.
Kemampuan kognitif, anak diajarkan untuk dapat membedakan bentuk dan warna, memahami konsep ruang dan waktu, mengerti konsep besar,jumlah dan perbandingan, serta kemampuan mengingat sesuatu. Namun yang harus dilakukan adalah mengenalkan kemampuan diatas dengan menunjukkan segala sesuatu yang nyata dan bisa langsung diamati anak.

Untuk masuk ke tingkat sekolah dasar setiap anak harus memiliki tingkat kematangan yang cukup. Bagi anak- anak yang baru saja meninggalkan bangku TK, masuk ke SD rasanya sama saja seperti maju ke medan perang. Bayangkan saja, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru, teman- teman yang baru, dan bu guru baru yang mungkin saja tidak seramah bu guru yang ada di TK. Di SD anak sudah tidak boleh ditunggui oleh orang tua, dan dalam mengerjakan tugas dikelas sudah tidak boleh dituntun oleh bu guru,kalau ada pr tidak boleh dikerjakan oleh orang tua, dan banyak hal lagi yang dialami anak. Tidak heran bahwa bulan- bulan pertama masuk kelas satu sebenarnya merupakan bulan depresi bagi anak.

Kemampuan dalam hal kognisi, sosial, skolastik dan fisik pada dasarnya bisa dilatih dengan cepat, namun lain halnya dengan kemampuan emosi. Kematangan emosi tidak bisa di “karbit” karena perkembangannya sejalan dengan pertambahan usia anak. Oleh karena itu bagi orang tua yang ingin memaksakan anaknya masuk SD padahal usianya belum cukup,akan menemukan dampak- dampak yang cukup menyulitkan bagi anak maupun orang tua.
Beberapa dampak yang sering muncul adalah:
Anak tidak mau ditinggal orang tua.
Anak tidak mandiri dan bergantung pada bantuan guru dalam menyelesaikan tugas-tugas disekolah. Padahal perhatian guru dikelas terbagi untuk anak- anak yang lain. Akibatnya anak tidak pernah sanggup menyelesaikan tugas tugas di sekolah.
Kesulitan dalam hal belajar. Kemungkinan anak mampu menyelesaikan tugas, namun karena anak sudah mengalami masa sulit di awal menyebabkan anak merasa terbebani dan kesulitan menyerap materi pelajaran.
Sulit menyesuaikan diri dengan teman- teman di kelas.
Mogok sekolah dan membolos. pada waktu tertentu anak merasa jenuh dengan kegiatan belajarnya karena beban berat dalam menyelesaikan tugas- tugas sekolah, maupun tuntutan dari orang tua yang selalu menginginkan anaknya meraih prestasi disekolah, atau ketidak mampuannya dalam membina hubungan dengan teman-temannya. Kondisi ini sering muncul ketika anak memasuki kelas tiga.
Muncul kenakalan yang bersifat dekstruktif. Ketidak mampuan anak disekolah menjadikan anak mencari pelampiasan yang bisa menarik perhatian. Sayangnya bentuk cari perhatian ini kearah yang negative. Ini terjadi karena anak ingin menunjukkan bahwa ia bisa berkuasa terhadap teman- temannya.Muncullah perilaku suka mengganggu teman, memalak, menindas teman, dll.

Kita semua tidak mau ini terjadi pada anak- anak kita bukan?mulai sekarang mungkin kita harus lebih jeli dan obyektif melihat kemampuan dan kebutuhan anak kita. Jika kita melihat anak kita belum memenuhi persyaratan emosional, tidak ada salahnya menunda usia masuk SD. Tidak perlu malu atau khawatir anak kita tertinggal dari teman- temannya yang lain. Karena langkah ini merupakan langkah terbaik yang bisa diambil. Dengan menunda waktu masuk SD, maka anak jadi punya waktu lebih untuk mengembangkan potensi dirinya dan lebih siap mengikuti pelajaran di SD.Bukankah awal yang baik akan membuka peluang bagi anak untuk lebih berprestasi disekolahnya kelak.

Untuk orang tua yang sudah terlanjur memasukkan anak kejenjang SD dalam usia yang belum matang, ada beberapa solusi yang bisa dicoba:
Tidak memberi tuntutan yang terlalu tinggi kepada anak.Banyak orang tua yang secara tidak sadar menetapkan standar tinggi untuk prestasi anaknya.Contohnya, nanti kalau kamu dapat rangking 5 besar, mama/papa akan membelikan mainan kesukaanmu. Tapi apa yang terjadi ketika anak tidak bisa mencapai target tersebut? Tidak ada hadiah maupun penghargaan atas jerih payahnya selama ini.Apa yang seharusnya ibu/bapak lakukan? Segera beri reward tanpa harus menunggu hasil “rangking 5 besar”, tetapi langsung saat anak sudah menunjukkan usaha maksimal untuk belajar. Jangan ragu memberikan pujian sekecil apapun usaha positif yang telah ia tunjukkan.
Beri motivasi terus menerus, yakinkan anak bahwa ia bisa. Kalaupun ia tidak mampu masih ada ayah dan ibu yang siap membantu.
Jadilah sahabat untuk anak. Kita dikatakan berhasil menjadi sahabat bagi anak kalau anak dengan leluasa menceritakan segala hal kepada kita tapa takut dimarahi ataupun dipojokkan. Kalau masih ada yang disembunyikan berarti kita hanya sebatas teman bagi anak.Memang susah menjadi sahabat bagi anak kita ya….. tapi tidak ada salahnya kan kalau mulai detik ini kita coba.Karena bagaimanapun anak butuh orang yang bias memahami perasaannya disaat ia merasa sedih, cemas ataupun takut.
Lakukan pendekatan personal oleh ayah. Kedekatan anak dengan ayah biasanya mampu mestabilkan kondisi emosional anak yang sedang “down”.
Pahami gaya belajar anak. Apakah anak kita style studynya visual style, auditori style atau kinestetik style.Begtu juga dengan gaya pemrosesan otak anak, apakah analitik atau holistic. Dengan memahami cara belajar anak kita, diharapkan kita dapat membantu dan lebih memahami kondisi anak saat belajar.
Jangan ragu untuk membina hubungan dengan guru disekolah. Sering berdialog dengan guru tentang kondisi anak akan sangat membantu mengatasi kesulitan anak. dikelas.Orang tua tidak bisa menyerahkan tugas mendidik anak 100% kepada guru.Ingat bahwa orang tualah pendidik anak yang utama.
Ketika semua usaha sudah dilakukan, jangan pernah berpikir hasilnya akan muncul dengan tiba- tiba. Semua mengalami proses yang cukup memakan waktu. Keberhasilan program tidak lepas dari seberapa intensifnya orang tua, guru dan orang- orang disekitar anak berusaha.


Tulisan ini terinspirasi dari beberapa sumber dan pengalaman.

DISLEKSIA


SEKILAS MENGENAI DISLEKSIA

A.Pendahuluan
Disleksia adalah sejenis kesulitan belajar (learning disability) yang ditandai dengan kesulitan dalam membaca. Beberapa anak disleksia juga berke­mungkinan mengalami kesulitan menulis, dan kadang-kadang juga kesulitan berbicara atau berhitung. Kita belum dapat memastikan apa sebenarnya yang menyebabkan anak menjadi disleksia. Yang kita tahu, hal itu amat mempengaruhi anak yang pada dasarnya sehat secara fisik dan emosional, memiliki kemampuan akademis, dan berasal dari lingkungan keluarga yang cukup baik. Sebenarnya, banyak anak disleksia mempunyai potensi untuk berprestasi yang amat luar biasa, kecakapan mental yang tinggi, serta orangtuanya berasal dari kalangan terdidik dan menganggap penting belajar.Masalah membaca dengan berbagai macam bentuknya merupakan masalah pen­ting bagi para anak sekolah. Adapun, para periset telah menemukan beberapa pe­nye­bab masalah tersebut. Dewasa ini, para guru kebanyakan menerima temuan-temuan hasil riset itu untuk kemudian menggunakannya dalam penyusunan program pembe­lajaran. Namun, ada sebagian kecil anak yang memiliki kesulitan dalam belajar mem­baca tapi tidak sepenuhnya sesuai dengan hasil temuan tersebut. Anak-anak ini disebut anak disleksia. Walaupun upaya untuk memperkirakan prevalensi anak dislek­sia merupakan hal yang sulit, beberapa periset memperkirakan bahwa sekitar 15 persen siswa Amerika Serikat diklasifikasikan sebagai anak disleksia.


B.DefinisiDisleksia
Selama beberapa tahun, istilah disleksia memiliki beragam definisi, dan dengan alasan tersebut, para guru jadi enggan menggunakan kesemua istilah itu. Bahkan, mereka telah menggunakan istilah seperti “reading disability” (kesulitan membaca) atau learning disability untuk menggambarkan kondisi yang dirasa lebih tepat sebagaimana istilah disleksia. Walau istilah disleksia sendiri belum diterima secara umum, salah satu definisi disleksia yang disajikan World Federation of Neurology memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu “suatu gangguan berupa kesulitan dalam membaca walaupun instruksinya bersifat umum, serta memiliki inteligensi dan kesempatan sosial yang cukup baik.”

C.Simptom-simptom
Anak disleksia memiliki perbedaan satu sama lain. Satu-satunya sifat yang sama pada mereka adalah kemampuan membacanya yang sangat rendah dilihat dari usia dan inteligensi yang dimilikinya. Hambatan membaca ini biasanya dipilah ke dalam level-level kelas. Misalnya, anak kelas empat yang level membacanya sama dengan level membaca kelas dua disebut trtinggal dua tahun dalam kemampuan membacanya. Setiap anak memiliki kemungkinan disleksia, dan ada pula anak yang tidak disleksia tetapi mempunya pengalaaman kesulitan membaca. Pemilahan kemampuan membaca seperti itu memang lumayan tepat tapi juga dapat menyesatkan. Siswa yang level membacanya tertinggal dua tahun saat ia duduk di kelas empat memiliki masalah belajar yang lebih serius ketimbang anak kelas 10 yang level mebacanya baru pada level kelas dua. Anak kelas empat baru mempelajari sedikit kecakapan membaca ketimbang anak kelas 10. Berarti pada anak kelas 10 ia sudah menguasai 8 kelas atau 80 persen kecakapan yang diperlukan untuk menjadi membaca yang baik.Samuel T. Orton, seorang neurolog yang tertarik pada masalah pembelajaran membaca pada tahun 1920-an, merupakan salah satu ilmuwan pertama yang meneliti disleksia. Dalam kerja sama penelitiannya dengan mahasiswa di Iowa dan New York, ia menemukan bahwa anak disleksia memiliki salah satu atau lebih hambatan berikut:

  • Kesulitan dalam mempelajari dan mengingat kata yang tertulis atau tercetak.
  • Terbalik saat menulis huruf atau angka yang bermiripan (p – q; b – d atau 2 – 5, 6 – 9). Mengubah urutan angka atau huruf pada kata (12 – 21, 35 – 53, atau sop – pos)
  • Menghilangkan atau menyisipkan huruf pada kata (misalnya : sekolah à seolah atau kertas à keras)
  • Huruf vokal tidak jelas atau mengganti konsonan
  • Selalu salah eja
  • Kesulitan dalam menulis

Orton mencatat bahwa bayak anak disleksia yang kidal atau ambidextrous (dapat menggunakan kedua belah tangan, misalnya saat menulis, tangan sama baiknya). Acap kali mereka pun membaca dari kanan ke kiri.

Simptom-simptom lain yang diamati Orton diantaranya:

  • Ragu-ragu dan lambat dalam berbicara
  • Kesulitan memilih kata yang tepat untuk menyampaikan maksud yang diucapkannya Bermasalah dalam menentukan arah (atas – bawah) dan waktu (sebelum – sesudah, sekarang-kemarin)
  • Tampak kikuk, lugu atau apa adanya saat menggunakan tangan, dan tulisan tangannya tidak terbaca.

Orton juga menemukan bahwa kebanyakan anak disleksia memiliki orangtua atau saudara yang juga disleksia. Sayangnya, kebanyakan anak disleksia hanya memi­liki sebagian kecil kesulitan-kesulitan membaca tersebut. Tapi dengan memiliki salah satu saja jenis kesulitan itu sudah membuat kebutuhan pendidikannya menjadi unik.

D.Faktor-faktorPenyebab
Pada awalnya, para periset meneliti penyebab utama disleksia. Sekarang banyak ahli sepakat bahwa ada banyak faktor yang mungkin saling berkombinasi menye­bab­kan mereka mengalami kesulitan membaca. Penyebab disleksia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori faktor utama, yaitu faktor pendidikan, psikologis, dan biologis.

1. Faktor Pendidikan

Metode Mengajar Banyak ahli setuju bahwa disleksia disebabkan oleh metode yang digunakan dalam mengajarkan membaca. Terutama, metoden “whole-word” yang menga­jarkan kata-kata sebagai satu kesatuan ketimbang mengajarkan bahwa kata me­rupakan bentuk bunyi dari suatu tulisan. Mereka berpikir bahwa metode fonetik, yang mengajakan anak nama-nama huruf berdasarkan bunyinya, memberikan fondasi yang baik untuk membaca. Mereka mengklaim bahwa anak yang belajar membaca dengan etode fonetik kan lebih mudah dalam mempelajari kata-kata baru. Dan untuk mengenali kata-kata asing tertulis sebagaimana mengeja tulisan kata itu setelah mendengar pelafalannya. Sementara ahli membaca yang lain meyakini bahwa dengan mengkombinasikan pendekatan “kata utuh” dan metode fonetik merupakan cara paling efektif dalam pengajaran membaca. Dengan mengguna­kan kedua metode tersebut, selain mengenali kata sebagai satu kesatuan (unit) anak pun akan belajar cara menerapkan aturan fonetik pada kata-kata baru. Namun demikian, metode apapun yang digunakan, para ahli yang yakin bahwa praktek peggunaan metode itulah yang pada dasarnya menimbulkan kesulitan membaca. Oleh karena itu, memperkuat program “membaca permulaan”merupakan upaya penting untuk mengurangi jumlah dan taraf kesulitan membaca pada anak.

* Sifat Bahasa Inggris

Banyak kata dalam Bahasa Inggris yang tidak mengikuti prinsip-prinsip fone­tis. Sehingga mempelajari cara membaca dan mengeja/melafalkan bahasa ini menjadi sulit, terutama bagi anak-anak disleksia. Kata-kata seperti cough, was, were, dan laugh merupakan beberapa contoh jenis kata yang harus diperhatikan karena pelafalannya berbeda dengan tulisannya. Sementara, setiap kata memberi kontribusi terhadap masalah membaca. Kata-kata seperti itu memang tidak beg­i­tu banyak, oleh karenanya diperkirakan kata-kata semacam itu bukan meru­pakan penyebab utama disleksia.

* Tes Inteligensi

Definisi yang umum diterima adalah bahwa disleksia merupakan kesulitan membaca pada anak yang inteligensinya normal. Definisi iu didasarkan pada anggapan bahwa kita dapat mengukur inteligensi secara akurat. Hasil tes inteligensi yang biasanya berupa skor IQ haruslah ditafsirkan secara hati-hati. Skor IQ bisa dipengaruhi oleh banyak faktor selain inteligensi. Tes-tes IQ yang harus dilakukan dengan proses membaca atau menulis tentu saja akan menimbulkan masalah bagi anak disleksia. Skor tes itu mungkin lebih mencerminkan lemahnya kecakapan berbahasa anak itu ketimbang inteligensinya. Bahkan pada tes yang sengaja dirancang untuk tes individual dan hanya memerlukan sedikit saja kemam­puan baca-tulis pun bisa saja tidak tepat mengukur inteligensi. Anak-anak disleksia acap kali bersikap negatif terhadap segala situasi pegetesan. Di samping itu, hasil tes juga dipengaruhi oleh banyak faktor kondisi, seperti suasana gaduh, kelelahan, atau hal-hal tertentu yang mungkin terjadi pada saat tes. Dengan sede­mikian banyaknya kemungkinan yang berpengaruh terhadap skor IQ, kita harus memperlakukan skor IQ itu seperti skor lainnya. Artinya, kalau skor itu tepat memang bisa merefleksikan kecakapan skolastik anak, namun bila saja skor itu tidak tepat maka skor itu tidak memiliki makna. Bahkan mendorong kita untuk memberikan label yang salah pada anak.

2. Faktor Psikologis

Beberapa periset memasukkan disleksia ke dalam gangguan psikologis atau emo­­sional sebagai akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki orangtua, sering pindah sekolah, kurangnya kerja sama dengan guru, atau penyebab-penyebab lain. Memang, anak yang kurang ceria, sedang marah-marah, atau memiliki hubungan yang kurang baik dengan orangtua atau dengan anak lain kemungkinan memiliki masalah belajar. Stress mungkin juga mengakibatkan disleksia, namun yang jelas stress dapat memperburuk masalah belajar. Metode treatmen yang efektif pasti dapat mengurangi kecemasan disleksia.

3. Faktor Biologis

Sejumlah peneliti meyakini bahwa disleksia merupakan akibat dari penyimpa­ngan fungsi bagian-bagian tertentu dari otak. Diyakini bahwa area-area tertentu dari otak anak disleksia perkembangannya lebih lambat dibanding anak-anak normal. Di samping itu kematangan otaknya pun lambat. Teori memang dulu banyak diperde­bat­kan, namun bukti-bukti mutakhir mengindikasikan bahwa teori itu memiliki validitas. Teori lainnya menyatakan bahwa disleksia disebabkan oleh gangguan pada struktur otak. Beberapa peneliti menerima bahwa teori ini masih diyakini sampai saat diadakan penelitian penelaahan otak manusia disleksia yang meninggal. Penelaahan otak ini telah menyingkap karakteristik perkembangan otak. Dari situ dieproleh gambaran bahwa gangguan struktur otak mungkin mengakibatkan sejumlah kasus penting disleksia berat. Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan. Beberapa penelitian mengung­kapkan bahwa 50 persen atau lebih anak disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia atau gangguan lain yang berkaitan. Ternyata, lebih banyak anak laki-laki yang disleksia daripada anak perempuan. Hal ini berarti bahwa faktor genetis dan faktor lingkungan-sosial sama-sama mempunyai kontribusi terhadap masalah belajar tersebut.

E. Treatmen (Penanganan)

Secara umum, para pendidik dan psikolog sepakat bahwa remedial yang dilaku­kan bagi anak-anak disleksia harus difokuskan pada gangguan spesifiknya. Oleh karena itu, pendekatan treatmen biasanya diarahkan untuk memodifikasi metode pengajaran dan lingkungan pendidikan. Ingat, anak-anak disleksia itu berbeda satu sama lain, maka metode pengajaran yang digunakan sepatutnya divariasikan. Anak-anak yang dicurigai disleksia sebaiknya dites oleh ahli pendidikan yang ter­latih atau psikolog. Dengan menggunkan beragam tes, si penguji akan dapat mengi­den­tifikasi jenis kekeliruan yang kerap dilakukan anak tersebut. Kemudian penguji pun dapat mendiagnosis apa yang menjadi masalahnya. Adapun jika anak itu memang disleksia, dapat diajukan rekomendasi untuk penanganannya, seperti tutuorial, sekolah libur, speech teraphy, atau rekomdenasi mengenai penempatan anak tersebut di kelas khususnya. Penguji juga bisa merekomendasikan pendekatan-pendekatan khusus untuk treatmen bagi anak ini. Karena tak ada satu metode pun yang sesuai bagi semua anak, program remediasi sebaiknya dirancang sebagai program individual. Kelebihan dan kelemahan anak dalam bidang pendidikannya , seperti skolastik (IQ), pola perilaku, dan gaya belajar, sepanjang hal itu diperkirakan sebagai pemicu disleksianya, sebaik­nya dijadikan bahan pertimbanngan ketika merancang program treatmen baginya. Rancangan tersebut sebaiknya menggambarkan kecakapan-kecakapan anak yang diha­rapkan tercapai dalam periode waktu tertentu, serta meggambarkan pula materi dan metode yang digunakan untuk membantu anak mencapai penguasaan kecakapan itu. Program treatmen bagi anak-anak disleksia dapat dipilah ke dalam tiga kategori, yaitu pengembangan, korektif (pembetulan), dan remedial (perbaikan). Setiap prog­ram menggabungkan lebih dari satu kategori di atas. Pendekatan Pengembangan digambarkan sebagai suatu pendekatan “more of the same”. Dalam hal ini guru meggunakan metode-metode yang sebelumnya telah di­gunakan dan berguna, tetapi anak-anak ini memerlukan waktu dan perhatian yang ekstra. Penerapan kelompok kecil dan pendekatan tutorial di mana guru dapat mem­bagi perhatian pada anak secara individual. Banyak peneliti dan kalangan pen­didik percaya bahwa ini bukanlah metode yang efektif bagi sebagian besar anak (normal). Pendekatan Korektif juga menggunakan kelompok kecil dengan teknik tutorial, tapi lebih menekankan pada minat dan modal yang dimiliki anak. Para pegguna metode ini bermaksud untuk memberi kesempatan anak untuk mengekspresikan kemampuan khususnya untuk menangani kesulitan yang dimilikinya. Pendekatan Remedial terutama dikembangkan untuk menangani kelemahan dua metode di atas. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu menangani masalah pendidikan dan masalah psikologis yang mengganggu kelancaran belajar. Dalam hal ini, guru mengenali dan mengakui terlebih dahulu bahwa si anak memiliki suatu modal tertentu, tapi pelaksanaan pengajarannya langsung diarahkan pada hambatan-hambatan yang dialaminya. Guru remedial mempertimbangkan hal tersebut sebagai dasar dalam menentukan kecakapan yang yang dirasakan anak paling menyulitkan, untuk kemudian menerapkan teknik-teknik individual yang terstruktur dalam meremediasi hambatan-hambatan kemampuannya. Materi disusun secara logis dan sifat Bahasa Inggris (sesuai aslinya –penterjemah). Kalangan pendidik menganjurkan penggunaan pendekatan multisensori, yaitu pendekatan yang melibatkan semua indera dalam proses belajarnya. Pendengaran untuk menyimak bunyi huruf atau kata, penglihatan untuk mengamati bentuk huruf dan kata. Dan kesan gerak tangan dan otot untuk memproduksi bicara dan tulisan huruf dan kata.

Prognosis

Prognosis bagi anak disleksia merupakan suatu proses terpadu. Kesulitan yang dialami memiliki dampak pada anak dan muncul dalam berbagai simptom yang taraf kesulitannya sulit diprediksi. Orangtua anak disleksia mungkin menganggap bahwa anaknya akan dapat membaca bila sudah sampai waktunya, atau anaknya akan berkembang dengan sendirinya. Riset-riset terbaru membuktikan bahwa disleksia tidak aka hilang sama sekali, dan pengajaran tradisonal yang diberikan secara ekstra pun tidak banyak mengurangi kondisi disleksianya. Sayangnya, dengan mengetahui kompleksnya disleksia, membuat kalangan pendidik kian memperketat pemilihaan metode yang paling tepat bagi setiap anak. Guru pun terlalu banyak memberikan remedial dengan rentang waktu lama. Beberapa anak disleksia memang berkembang membaik dalam waktu singkat, tapi anak yang lain perkembangannya lamban dan yang lainnya lagi masih enggan mengikuti proses pembelajaran. Banyak diantara mereka yang masih juga memiliki masalah ejaan. Dan sebagian lagi bisa meguasai kemampuan dasar membaca namun belum lancar.Taraf kemampuan anak disleksia dipegaruhiolehbeberapahal.
Program remedial yang tepat tentu saja menjadi hal yang penting. Namun demikian, kondisi lingkungan dan sosial dapat memperlemah program treatmen. Pola hubungan anak dengan keluarga, teman sebaya, dan hubungan dengan guru berpegaruh banyak terhadap hasil pembelajaran. Dalam lingkungan yang kondusif, peluang keberhasilan anak akan kian besar. Sikap optimis merupakan hal penting. Anak yang kurang optimis jarang yang yang sukses dalam mengikuti program treatmen. Karena kemajuan kemampuan membacanya kecil, maka pencapaian tingkat akademis dan vokasional bagi mereka pun perlu diperendah. Namun mereka tetap perlu bersikap optimis. Semakin dini diagnosis dan treatmen dilakukan pada anak disleksia, akan semakin banyak kecakapan berbahasa yang dapat dicapai. Sebab, masalah yang tak tertanngaani akan terakumulasi seiring waktu dan jenjang keals yang ditempuh anak, sehingga pena­nganannya pun akan kian sulit. Siswa yang duduk di kelas besar memang memiliki motivasi yang lebih kecil, karena ia enggan mengulangi kegagalan, dan treatmen yang dilakukan akan menjadi kian sulit lagi. Waktu saat dilakukanya treatmen juga berpe­nga­rauh terhadap pelung perbaikan yang akan dicapai anak disleksia. Seringkali, prog­ram remedial hanya diberikan pada anak kelas kecil, walaupun sebenarnya program ju­ga remedial diperlukan anak-anak yang duduk di kelas besar, bahkan sampai pergu­ru­an tinggi. Program remedial sebenarya dapat diberikan selama anak itu mau dan termo­ti­vasi untuk belajar. Walaupun orang dewasa juga dapat diperbaiki dengan program re­me­dial, namun amat jarang program seperti itu diberikan pada siswa-siswa di kelas besar. Taraf disleksia bisa juga dipengaruhi oleh kepribdian dan motivasinya. Karena kemampuan membaca merupakan hal yang vital bagi anak, maka disleksia dapat mempengaruhi emosional adjusment (pola penyesuaian emosionalnya). Mengulangi kegagalan merupakan suatu hal yang tidak mengenakan. Mereka mungkin menjadi marah, kesal, merasa bersalah, bahkan amat berputus asa dan kehilangan ambisinya. Mereka mungkin membutuhkan konseling untuk menangani gangguan emosional yang dikibatkan oleh disleksianya. Dengan pemberian bantuan yang beragam dan kontinyu, anak disleksia akan mencapai kemajuan. Anak disleksia yang sudah teridentifikasi sejak dini, memperoleh dukungan dari kelurga dan teman-temannya, memiliki self imge yang kuat, serta mendapatkan program treatmen yang cukup memadai, diperkirakan akan meraih kemajuan yang baik.

F. Dukungan Riset NICHD

The National Instiuteof Child and Human Development (NICHD) mendukung beberapa penelitian yang lakukan untuk menentukan bagaimana cara kebanyakan anak disleksia membaca dan apa yang menghambat mereka meraih kecakapan uta­manya. Beberapa peneliti tengah merancang tes-tes bahasa yang dapat memprediksi kecakapan membaca yang seharusnya dimiliki anak usia 5-6 tahun. Jika upaya para peneliti ini berhasill, agaknya banyak kasus disleksia dapat dihindari. Para peneliti lain tengah berupaya mengidentifikasi anak yang memiliki resiko disleksia melalui prosedur pengujian persarafan moderen, seperti electroencepalography dan PET-scan (Positron Emission Tomography) yaitu suatu teknik pencitraan aktivitas otak. Beberapa ilmuwan memperoleh dukungan NICHD yang mengadakaan penelitian terhadap anak dari keluarga yang berpeluang lebih tinggi mengalami disleksia atau gangguan bahasa lain untuk menentukan penyebab genetis pada gangguan membaca. Sedangkan para peneliti yang lainnya lebih memfokuskan pada penggambaran ber­bagai tipe dan subtipe disleksia dengan harapan agar rancangan treatmen yang akan diberikan menjadi lebih tepat dan terarah. Walau telah banyak ditemukan bukti diperoleh dari berbagai penelitiann, masih banyak masalah gangguan perkembangan anak yang belum terjawab. Tujuan akhir yang ingin kita tuju adalah pencegahan disleksia dan gangguan belajar spesisfik lain secara menyeluruh. Jalan menuju tujuan tersebut adalah dengan melakukan identifikasi dini pada semua anak yang beresiko disleksia sehingga dapat rancang petunjuk dan prosedur yang lebih tepat. Dengan demikian, gejala-gejala disleksia dapat dihilangkan atau setidaknya meminimalkan pengaruh disleksianya itu terhadap perkembangan intelektual , akademik, psikologis, dan sosialnya. Kendatipun kesan tentang adanya ciri perilaku an neurologis pada anak disleksia telah terbukti, penelitian lanjutan tetaplah penting. Semua riset medis dan riset pendidikan mengenai teknik-tekik diagnostik dan program pendidikan individual akan kian membuka luas kesempatan bagi anak disleksia menjadi anggota masyarakat yang melek huruf.

KUTIPAN SITUS INTERNET ( Psikologi ) Agustus 2008

SEMINAR PSIKOLOGI ( Sasaran Orang tua dan pelaku Pendidikan)

SEMINAR PSIKOLOGI ( Sasaran Orang tua dan pelaku Pendidikan)
Tujuan : Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada orang tua tentang perkembangan psikologi dan perkembangan emosional anak, sehingga bisa mencari solusi permasalahan anak dengan tepat.

"SMART Parenting Bina Kreatif Kids Care"

"SMART Parenting Bina Kreatif Kids Care"
"Sekolah yang baik adalah sekolah yang bisa meng-akumudir style dan potensi anak, jadi sekolah yang favorit menurut kebanyakan orang belum tentu baik untuk anak kita."Cuplikan dialog (Red)

KANTOR " BINA KREATIF "

KANTOR " BINA  KREATIF "
Alhamdulillah Kantor sekaligus tempat berbagi pengetahuan tumbuh kembang anak telah dioprasikan. Ingin Info lebih banyak silahkan Hubungi Management BKKC : 021 95192514 semoga banyak manfaatnya. Amin.

TEAM BINA KREATIF KIDS CARE

TEAM  BINA KREATIF KIDS CARE
Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing - masing , tugas kita sebagai orang tua hanyalah membimbing , mengarahkan dan mendidiknya dengan baik. Kesabaran dalam mengasuh anak adalah kunci utama keberhasilan menjadikan anak - anak yang hebat , berakhlaq dan cerdas.
 

INFO 2009

INFO  2009

CONSULTING INFORMATION

CONSULTING  INFORMATION

INGIN KONSULTASI PSIKOLOGI

INGIN  KONSULTASI PSIKOLOGI