SEKILAS MENGENAI DISLEKSIA
A.Pendahuluan
Disleksia adalah sejenis kesulitan belajar (learning disability) yang ditandai dengan kesulitan dalam membaca. Beberapa anak disleksia juga berkemungkinan mengalami kesulitan menulis, dan kadang-kadang juga kesulitan berbicara atau berhitung. Kita belum dapat memastikan apa sebenarnya yang menyebabkan anak menjadi disleksia. Yang kita tahu, hal itu amat mempengaruhi anak yang pada dasarnya sehat secara fisik dan emosional, memiliki kemampuan akademis, dan berasal dari lingkungan keluarga yang cukup baik. Sebenarnya, banyak anak disleksia mempunyai potensi untuk berprestasi yang amat luar biasa, kecakapan mental yang tinggi, serta orangtuanya berasal dari kalangan terdidik dan menganggap penting belajar.Masalah membaca dengan berbagai macam bentuknya merupakan masalah penting bagi para anak sekolah. Adapun, para periset telah menemukan beberapa penyebab masalah tersebut. Dewasa ini, para guru kebanyakan menerima temuan-temuan hasil riset itu untuk kemudian menggunakannya dalam penyusunan program pembelajaran. Namun, ada sebagian kecil anak yang memiliki kesulitan dalam belajar membaca tapi tidak sepenuhnya sesuai dengan hasil temuan tersebut. Anak-anak ini disebut anak disleksia. Walaupun upaya untuk memperkirakan prevalensi anak disleksia merupakan hal yang sulit, beberapa periset memperkirakan bahwa sekitar 15 persen siswa Amerika Serikat diklasifikasikan sebagai anak disleksia.
B.DefinisiDisleksia
Selama beberapa tahun, istilah disleksia memiliki beragam definisi, dan dengan alasan tersebut, para guru jadi enggan menggunakan kesemua istilah itu. Bahkan, mereka telah menggunakan istilah seperti “reading disability” (kesulitan membaca) atau learning disability untuk menggambarkan kondisi yang dirasa lebih tepat sebagaimana istilah disleksia. Walau istilah disleksia sendiri belum diterima secara umum, salah satu definisi disleksia yang disajikan World Federation of Neurology memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu “suatu gangguan berupa kesulitan dalam membaca walaupun instruksinya bersifat umum, serta memiliki inteligensi dan kesempatan sosial yang cukup baik.”
C.Simptom-simptom
Anak disleksia memiliki perbedaan satu sama lain. Satu-satunya sifat yang sama pada mereka adalah kemampuan membacanya yang sangat rendah dilihat dari usia dan inteligensi yang dimilikinya. Hambatan membaca ini biasanya dipilah ke dalam level-level kelas. Misalnya, anak kelas empat yang level membacanya sama dengan level membaca kelas dua disebut trtinggal dua tahun dalam kemampuan membacanya. Setiap anak memiliki kemungkinan disleksia, dan ada pula anak yang tidak disleksia tetapi mempunya pengalaaman kesulitan membaca. Pemilahan kemampuan membaca seperti itu memang lumayan tepat tapi juga dapat menyesatkan. Siswa yang level membacanya tertinggal dua tahun saat ia duduk di kelas empat memiliki masalah belajar yang lebih serius ketimbang anak kelas 10 yang level mebacanya baru pada level kelas dua. Anak kelas empat baru mempelajari sedikit kecakapan membaca ketimbang anak kelas 10. Berarti pada anak kelas 10 ia sudah menguasai 8 kelas atau 80 persen kecakapan yang diperlukan untuk menjadi membaca yang baik.Samuel T. Orton, seorang neurolog yang tertarik pada masalah pembelajaran membaca pada tahun 1920-an, merupakan salah satu ilmuwan pertama yang meneliti disleksia. Dalam kerja sama penelitiannya dengan mahasiswa di
- Kesulitan dalam mempelajari dan mengingat kata yang tertulis atau tercetak.
- Terbalik saat menulis huruf atau angka yang bermiripan (p – q; b – d atau 2 – 5, 6 – 9). Mengubah urutan angka atau huruf pada kata (12 – 21, 35 – 53, atau sop – pos)
- Menghilangkan atau menyisipkan huruf pada kata (misalnya : sekolah à seolah atau kertas à keras)
- Huruf vokal tidak jelas atau mengganti konsonan
- Selalu salah eja
- Kesulitan dalam menulis
Orton mencatat bahwa bayak anak disleksia yang kidal atau ambidextrous (dapat menggunakan kedua belah tangan, misalnya saat menulis, tangan sama baiknya). Acap kali mereka pun membaca dari kanan ke kiri.
Simptom-simptom lain yang diamati Orton diantaranya:
- Ragu-ragu dan lambat dalam berbicara
- Kesulitan memilih kata yang tepat untuk menyampaikan maksud yang diucapkannya Bermasalah dalam menentukan arah (atas – bawah) dan waktu (sebelum – sesudah, sekarang-kemarin)
- Tampak kikuk, lugu atau apa adanya saat menggunakan tangan, dan tulisan tangannya tidak terbaca.
Orton juga menemukan bahwa kebanyakan anak disleksia memiliki orangtua atau saudara yang juga disleksia. Sayangnya, kebanyakan anak disleksia hanya memiliki sebagian kecil kesulitan-kesulitan membaca tersebut. Tapi dengan memiliki salah satu saja jenis kesulitan itu sudah membuat kebutuhan pendidikannya menjadi unik.
D.Faktor-faktorPenyebab
Pada awalnya, para periset meneliti penyebab utama disleksia. Sekarang banyak ahli sepakat bahwa ada banyak faktor yang mungkin saling berkombinasi menyebabkan mereka mengalami kesulitan membaca. Penyebab disleksia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori faktor utama, yaitu faktor pendidikan, psikologis, dan biologis.
1. Faktor Pendidikan
Metode Mengajar Banyak ahli setuju bahwa disleksia disebabkan oleh metode yang digunakan dalam mengajarkan membaca. Terutama, metoden “whole-word” yang mengajarkan kata-kata sebagai satu kesatuan ketimbang mengajarkan bahwa kata merupakan bentuk bunyi dari suatu tulisan. Mereka berpikir bahwa metode fonetik, yang mengajakan anak nama-nama huruf berdasarkan bunyinya, memberikan fondasi yang baik untuk membaca. Mereka mengklaim bahwa anak yang belajar membaca dengan etode fonetik
* Sifat Bahasa Inggris
Banyak kata dalam Bahasa Inggris yang tidak mengikuti prinsip-prinsip fonetis. Sehingga mempelajari cara membaca dan mengeja/melafalkan bahasa ini menjadi sulit, terutama bagi anak-anak disleksia. Kata-kata seperti cough, was, were, dan laugh merupakan beberapa contoh jenis kata yang harus diperhatikan karena pelafalannya berbeda dengan tulisannya. Sementara, setiap kata memberi kontribusi terhadap masalah membaca. Kata-kata seperti itu memang tidak begitu banyak, oleh karenanya diperkirakan kata-kata semacam itu bukan merupakan penyebab utama disleksia.
* Tes Inteligensi
Definisi yang umum diterima adalah bahwa disleksia merupakan kesulitan membaca pada anak yang inteligensinya normal. Definisi iu didasarkan pada anggapan bahwa kita dapat mengukur inteligensi secara akurat. Hasil tes inteligensi yang biasanya berupa skor IQ haruslah ditafsirkan secara hati-hati. Skor IQ bisa dipengaruhi oleh banyak faktor selain inteligensi. Tes-tes IQ yang harus dilakukan dengan proses membaca atau menulis tentu saja akan menimbulkan masalah bagi anak disleksia. Skor tes itu mungkin lebih mencerminkan lemahnya kecakapan berbahasa anak itu ketimbang inteligensinya. Bahkan pada tes yang sengaja dirancang untuk tes individual dan hanya memerlukan sedikit saja kemampuan baca-tulis pun bisa saja tidak tepat mengukur inteligensi. Anak-anak disleksia acap kali bersikap negatif terhadap segala situasi pegetesan. Di samping itu, hasil tes juga dipengaruhi oleh banyak faktor kondisi, seperti suasana gaduh, kelelahan, atau hal-hal tertentu yang mungkin terjadi pada saat tes. Dengan sedemikian banyaknya kemungkinan yang berpengaruh terhadap skor IQ, kita harus memperlakukan skor IQ itu seperti skor lainnya. Artinya, kalau skor itu tepat memang bisa merefleksikan kecakapan skolastik anak, namun bila saja skor itu tidak tepat maka skor itu tidak memiliki makna. Bahkan mendorong kita untuk memberikan label yang salah pada anak.
2. Faktor Psikologis
Beberapa periset memasukkan disleksia ke dalam gangguan psikologis atau emosional sebagai akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki orangtua, sering pindah sekolah, kurangnya kerja sama dengan guru, atau penyebab-penyebab lain. Memang, anak yang kurang ceria, sedang marah-marah, atau memiliki hubungan yang kurang baik dengan orangtua atau dengan anak lain kemungkinan memiliki masalah belajar. Stress mungkin juga mengakibatkan disleksia, namun yang jelas stress dapat memperburuk masalah belajar. Metode treatmen yang efektif pasti dapat mengurangi kecemasan disleksia.
3. Faktor Biologis
Sejumlah peneliti meyakini bahwa disleksia merupakan akibat dari penyimpangan fungsi bagian-bagian tertentu dari otak. Diyakini bahwa area-area tertentu dari otak anak disleksia perkembangannya lebih lambat dibanding anak-anak normal. Di samping itu kematangan otaknya pun lambat. Teori memang dulu banyak diperdebatkan, namun bukti-bukti mutakhir mengindikasikan bahwa teori itu memiliki validitas. Teori lainnya menyatakan bahwa disleksia disebabkan oleh gangguan pada struktur otak. Beberapa peneliti menerima bahwa teori ini masih diyakini sampai saat diadakan penelitian penelaahan otak manusia disleksia yang meninggal. Penelaahan otak ini telah menyingkap karakteristik perkembangan otak. Dari situ dieproleh gambaran bahwa gangguan struktur otak mungkin mengakibatkan sejumlah kasus penting disleksia berat. Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa 50 persen atau lebih anak disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia atau gangguan lain yang berkaitan. Ternyata, lebih banyak anak laki-laki yang disleksia daripada anak perempuan. Hal ini berarti bahwa faktor genetis dan faktor lingkungan-sosial sama-sama mempunyai kontribusi terhadap masalah belajar tersebut.
E. Treatmen (Penanganan)
Secara umum, para pendidik dan psikolog sepakat bahwa remedial yang dilakukan bagi anak-anak disleksia harus difokuskan pada gangguan spesifiknya. Oleh karena itu, pendekatan treatmen biasanya diarahkan untuk memodifikasi metode pengajaran dan lingkungan pendidikan. Ingat, anak-anak disleksia itu berbeda satu sama lain, maka metode pengajaran yang digunakan sepatutnya divariasikan. Anak-anak yang dicurigai disleksia sebaiknya dites oleh ahli pendidikan yang terlatih atau psikolog. Dengan menggunkan beragam tes, si penguji akan dapat mengidentifikasi jenis kekeliruan yang kerap dilakukan anak tersebut. Kemudian penguji pun dapat mendiagnosis apa yang menjadi masalahnya. Adapun jika anak itu memang disleksia, dapat diajukan rekomendasi untuk penanganannya, seperti tutuorial, sekolah libur, speech teraphy, atau rekomdenasi mengenai penempatan anak tersebut di kelas khususnya. Penguji juga bisa merekomendasikan pendekatan-pendekatan khusus untuk treatmen bagi anak ini. Karena tak ada satu metode pun yang sesuai bagi semua anak, program remediasi sebaiknya dirancang sebagai program individual. Kelebihan dan kelemahan anak dalam bidang pendidikannya , seperti skolastik (IQ), pola perilaku, dan
Prognosis
Prognosis bagi anak disleksia merupakan suatu proses terpadu. Kesulitan yang dialami memiliki dampak pada anak dan muncul dalam berbagai simptom yang taraf kesulitannya sulit diprediksi. Orangtua anak disleksia mungkin menganggap bahwa anaknya akan dapat membaca bila sudah sampai waktunya, atau anaknya akan berkembang dengan sendirinya. Riset-riset terbaru membuktikan bahwa disleksia tidak aka hilang sama sekali, dan pengajaran tradisonal yang diberikan secara ekstra pun tidak banyak mengurangi kondisi disleksianya. Sayangnya, dengan mengetahui kompleksnya disleksia, membuat kalangan pendidik kian memperketat pemilihaan metode yang paling tepat bagi setiap anak. Guru pun terlalu banyak memberikan remedial dengan rentang waktu lama. Beberapa anak disleksia memang berkembang membaik dalam waktu singkat, tapi anak yang lain perkembangannya lamban dan yang lainnya lagi masih enggan mengikuti proses pembelajaran. Banyak diantara mereka yang masih juga memiliki masalah ejaan. Dan sebagian lagi bisa meguasai kemampuan dasar membaca namun belum lancar.Taraf kemampuan anak disleksia dipegaruhiolehbeberapahal.
Program remedial yang tepat tentu saja menjadi hal yang penting. Namun demikian, kondisi lingkungan dan sosial dapat memperlemah program treatmen. Pola hubungan anak dengan keluarga, teman sebaya, dan hubungan dengan guru berpegaruh banyak terhadap hasil pembelajaran. Dalam lingkungan yang kondusif, peluang keberhasilan anak akan kian besar. Sikap optimis merupakan hal penting. Anak yang kurang optimis jarang yang yang sukses dalam mengikuti program treatmen. Karena kemajuan kemampuan membacanya kecil, maka pencapaian tingkat akademis dan vokasional bagi mereka pun perlu diperendah. Namun mereka tetap perlu bersikap optimis. Semakin dini diagnosis dan treatmen dilakukan pada anak disleksia, akan semakin banyak kecakapan berbahasa yang dapat dicapai. Sebab, masalah yang tak tertanngaani akan terakumulasi seiring waktu dan jenjang keals yang ditempuh anak, sehingga penanganannya pun akan kian sulit. Siswa yang duduk di kelas besar memang memiliki motivasi yang lebih kecil, karena ia enggan mengulangi kegagalan, dan treatmen yang dilakukan akan menjadi kian sulit lagi. Waktu saat dilakukanya treatmen juga berpengarauh terhadap pelung perbaikan yang akan dicapai anak disleksia. Seringkali, program remedial hanya diberikan pada anak kelas kecil, walaupun sebenarnya program juga remedial diperlukan anak-anak yang duduk di kelas besar, bahkan sampai perguruan tinggi. Program remedial sebenarya dapat diberikan selama anak itu mau dan termotivasi untuk belajar. Walaupun orang dewasa juga dapat diperbaiki dengan program remedial, namun amat jarang program seperti itu diberikan pada siswa-siswa di kelas besar. Taraf disleksia bisa juga dipengaruhi oleh kepribdian dan motivasinya. Karena kemampuan membaca merupakan hal yang vital bagi anak, maka disleksia dapat mempengaruhi emosional adjusment (pola penyesuaian emosionalnya). Mengulangi kegagalan merupakan suatu hal yang tidak mengenakan. Mereka mungkin menjadi marah, kesal, merasa bersalah, bahkan amat berputus asa dan kehilangan ambisinya. Mereka mungkin membutuhkan konseling untuk menangani gangguan emosional yang dikibatkan oleh disleksianya. Dengan pemberian bantuan yang beragam dan kontinyu, anak disleksia akan mencapai kemajuan. Anak disleksia yang sudah teridentifikasi sejak dini, memperoleh dukungan dari kelurga dan teman-temannya, memiliki self imge yang kuat, serta mendapatkan program treatmen yang cukup memadai, diperkirakan akan meraih kemajuan yang baik.
F. Dukungan Riset NICHD
The National Instiuteof Child and Human Development (NICHD) mendukung beberapa penelitian yang lakukan untuk menentukan bagaimana cara kebanyakan anak disleksia membaca dan apa yang menghambat mereka meraih kecakapan utamanya. Beberapa peneliti tengah merancang tes-tes bahasa yang dapat memprediksi kecakapan membaca yang seharusnya dimiliki anak usia 5-6 tahun. Jika upaya para peneliti ini berhasill, agaknya banyak kasus disleksia dapat dihindari.
KUTIPAN SITUS INTERNET ( Psikologi ) Agustus 2008
Anak saya IQ nya di atas rata2 tapi kenapa di rapor nilanya dibawah rata2 apa itu bisa disebut disklesia ?