Seputar Permasalahan kita

Bina Kreatif Talk about……

“ TIDAK MAU SEKOLAH ”

( Padahal baru Usia + 3 Tahun )

Permasalahan :

Kak Wien …….

Sejak kecil putri saya diasuh oleh budenya. Menjelang usia 2 tahun bude tidak bisa lagi mengasuh dan kami memutuskan untuk memasukkannya ke playgroup karena kami belum menemukan pengasuh yang tepat untuknya. Sedangkan saya dan istri bekerja. Awalnya ia senang, karena kami bergantian menungguinya.

Namun belakangan ini ia selalu menolak untuk bersekolah. Sejak dari rumah ia sudah menangis agar tidak bersekolah maunya ikut kami ke kantor. Karena tidak mungkin ikut terus ke kantor, kami dengan terpaksa membawanya dan meninggalkannya di sekolah. Walaupun pada awalnya menangis meronta-ronta, tetapi menurut para gurunya itu hanya sebentar.

Ketika sore hari saya jemput, ia terlihat ceria dan selalu bilang “ayah ita nggak nangis” dan ini selalu terjadi setiap hari. Namun ada satu hal yang membuat saya gundah, Kak Wien . Dalam tidurnya ia sering sesenggukan ( seperti habis menangis karena sedih sekali). Saya tidak tahu, apakah itu pertanda depresi atau apa. Saya takut sebenarnya ia merasa tertekan, karena setiap kali kita mengucapkan kata “ sekolah ”, ia seperti takut dan langsung bilang “ nggak sekolah…” apa yang seharusnya kami lakukan?

Solusi Psikolog :

Memang sering menjadi dilemma bagi orang tua yang bekerja antara harus mencari nafkah dan menemani anak di rumah. Namun dari sisi anak juga perlu dipahami bahwa di usianya sekarang ia masih butuh perhatian besar dari kedua orangtuanya.

Sebenarnya anak berusia di bawah 3 tahun belum wajib sekolah karena stimulasi yang diberikan di sekolah masih bisa diberikan oleh orang tua/pengasuh di rumah dan sebaiknya hindari alasan menjadikan sekolah sebagai tempat menitipkan anak karena dikhawatirkan anak akan merasa “tersisihkan” dari orangtuanya yang harus bekerja. Selain itu, sekolah pertama bagi anak sebaiknya jangan langsung yang mengharuskan kehadiran anak setiap hari, idealnya adalah 1-3 kali seminggu.

Menurut saya, yang dialami anak bapak adalah ketidak mampuan untuk beradaptasi secara baik dengan perubahan drastic dalam kehidupannya. Awalnya, ia merasa nyaman dalam pengasuhan bude di rumah. Sekarang ia harus masuk dalam lingkungan baru yang berbeda jauh dengan rumah dimana ia harus berbagi perhatian dengan anak lainnya dan berjauhan dengan orang-orang yang dekat dengannya. Hal ini bisa sangat di pahami untuk anak seusia anak anda.

Saya juga melihat anak anda mengingkan perhatian yang lebih dari kedua orangtuanya. Karena itu ia enggan berpisah dari orangtuanya. Anda dan pasangan mungkin sudah merasa memberikan banyak waktu dan perhatian, tetapi anak mungkin merasa belum cukup. Sering kali orangtua merasa, dengan mengurusi kebutuhannya seperti memandikan atau menyuapi makan. Mereka sudah memberikan perhatian pada anak. Padahal itu baru kebutuhan lahiriah saja. Ada kebutuhan emosi anak yang terlewatkan.

Untuk memenuhinya, anda bisa sering-sering mengajaknya bicara tentang perasaannya. Misalnya sebelum tidur, Anda bisa bertanya apa yang ia alami hari ini dan bagaimana perasaannya tentang itu. Momen ini juga bisa anda pakai untuk menjelaskan dengan bahasa anak mengapa orangtuanya harus bekerja dan meninggalkannya di sekolah. Percakapan emosi dengan anak bisa membantu anak mengeluarkan semua perasaan yang dialaminya sehingga tidak terbawa hingga tidur. Mengigau yang dialami anak disebabkan oleh kondisi emosi anak yang tidak tenang karena hal-hal yang ia alami di siang harinya atau sebelum tidur.

Dari cerita Anda, saya lihat sebenarnya tidak ada masalah dengan sekolahnya karena setelah si anak menangis dan meronta, ia bisa baik kembali. Namun, tidak ada salahnya anda mencaritahu apa yang membuat anak tidak nyaman di sekolah.

Apakah gurunya kurang hangat....... ?

Adakah teman yang mengganggu …… ?

Apakah aktivitas sekolahnya yang terlalu melelahkan …..?

Caritahu dengan menanyai anak secara jeli sehingga ditemukan alasan yang sebenarnya. Konsultasikan juga masalah ini dengan guru sehingga penyebab dan pemecahannya bisa dicari bersama.

Jangan lupa, berikan penghargaan positif pada anak jika ia bisa melewati hari sekolahnya dengan ceria. Berikan ia pujian, pelukan hangat, atau hadiah berupa dibacakan cerita di malam harinya. Sebisa mungkin usahakan waktu di akhir pekan hanya diperuntukkan untuk anak dan keluarga. Satu lagi saran saya, secepatnya carilah pengasuh yang bisa dipercaya dan sudah punya hubungan dekat dengan anak sebelumnya. Dengan adanya pengasuh , diharapkan anak tidak harus berada di sekolah setiap hari dan sampai sore.

Jika dalam waktu satu bulan anak tidak menunjukkan kemajuan setelah anda melakukan usaha-usaha tersebut di atas (anak masih mengigau dan menolak sekolah), anda bisa mengosultasikan masalah ini ke psikolog anak terdekat agar anak anda tertangani dengan baik.

Semoga yang sedikit ini bia memberikan wawasan baru bagi anda.

Info Konsultasi Anak :

“Kak Wien Centre”

Phone : 021 87987089 ( Sdri. Devi / Nurul )

Assalamu'alaikum Kak Wien

Kopi Pagi ……..

Ilustrasi dari berbagai pengalaman perjalanan hidup manusia….

Berseteru karena Cemburu

Sejak awal, Mia tidak ingin repot dengan urusan anak yang riuh rendah. Tetapi keinginan untuk punya anak ada. Betapapun, rasanya belum lengkap pernikahan tanpa hadirnya keturunan. Itu sebabnya, dari awal menikah Mia merasa perlu membicarakan dengan suaminya.

“Saya mau punya anak satu,” kata Mia, “Biar bisa mendidik dengan lebih baik, bisa memberi perhatian yang optimal, dan mengembangkan seluruh potensi anak.”

Mia berharap-harap cemas menunggu reaksi suaminya. Mia sengaja mendahului mengutarakan gagasannya karena dia merasa masalah ini sangat prinsip baginya. Entah kenapa, suaminya masih diam saja.

“Kalau Mas sendiri ingin punya anak berapa?” Tanya Mia.

“Saya sih . . . ,” kata suaminya, “. . . ingin punya anak sembilan.”

Jawaban yang tak terduga. Jawaban yang sama sekali tak diharapkan Mia. Begitu mengejutkan, sehingga Mia tak bisa dengan cepat menyikapinya dengan baik. Salah satunya karena dia tahu jawaban suaminya sangat serius.

Ah . . . , tetapi kebahagiaan pengantin baru dengan cepat mengalahkan semua kerisauannya. Dan tak lama, di mengandung anak pertama, anaknya yang kemudian dia perlakukan sebagai anak tunggal. Selalu mencurahkan perhatian besar dan kadang lupa membedakan antara kasih sayang dengan memanjakan. Tanpa sadar, Mia sering mengajak bercanda anaknya yang semata wayang dengan kata-kata yang menjadikan anak mersa sebagai satu-satunya. Tak pernah Mia mengajak anak untuk membayangkan indahnya punya saudara.

Ketika anak mulai beranjak besar, Mia mulai merasa kerepotan. Satu anak saja sudah sangat repot, apalagi kalau dua. Mia mencoba meyakinkan suaminya ketika lelaki yang menikahinya empat tahun lalu itu mulai mengajaknya bicara tentang kemungkinan punya anak lagi. Sekali lagi, Mia ingin menunjukan kepada suaminya, repot sekali punya anak dua kalau yang pertama saja belum mandiri.

“Nantilah, Mas kalau anak kita sudah usia empat tahun. Kalau adik sudah masuk TK, kita bisa merencanakan punya anak lagi,” kata Mia. Suaminya setuju. Dan Mia kembali menghadapai kesibukan melayani anaknya yang semata wayang, Nisa .

Sudah 3 tahun usia Nisa sekarang. Aduh, anak yang manis itu kini sangat menyusahkan. Mandi susah, makan susah, sikat gigi apalagi. Kalau sudah di depan televisi, malas sekali beranjak meski sekadar untuk mengambil sendok. Lagi-lagi Mia dan suaminya yang harus sibuk dengan semua itu, tanpa mengingat bahwa anak harus belajar mandiri. Kadang kita sulit membedakan antara menyayangi dan memanjakan, sehingga karena takut memanjakan, kita kurang memberikan kasih sayang pada anak-anak kita. Sebaliknya, karena ingin menyayangi, kita keliru memanjakan.

Menjelang anaknya berusia 4 tahun, Mia mulai hamil. Saat anaknya memasuki usia 4,5 tahun lebih sedikit, Mia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Tangisnya keras memecah kesunyian.

Hari-hari pertama, Nisa sangat senang punya adik. Tetapi setelah satu minggu, kecemburuannya mulai tampak. Setelah adiknya lahir, perhatian ibunya memang jauh berkurang. Nisa mulai menyerang adiknya. Tak cukup dengan itu, belakangan Nisa menunjukan perlawanan. Kerap kali dia melarang ibunya meninabobokkan si adik. “adik sama Bapak aja,” teriak Nisa

Tak pelak, suami Mia yang harus menggendong dan menangani si kecil kalau Nisa sedang menampakkan perlawanannya. Mia sendiri kerap menyalahkan keinginan suaminya untuk punya anak lagi, sehingga menjadi pembenaran Nisa untuk menunjukan perlawanan. Keinginan Nisa untuk menguasai ibunya hanya untuk dia saja, seakan gayung bersambut dengan sikap ibunya.

Tetapi . . . .

Mia akhirnya merasa sangat kerepotan. Bagaimanapun juga, Mia harus memberi perhatian kepada anak lelakinya. Kalau Nisa terus mengganggu, Mia tak bisa mengurus si kecil dengan baik. Masalahnya, Nisa sudah terlanjur “menguasai ibunya” kalau sedang minta diperhatikan. Semakin dituruti keinginannya, rasa cemburu Dita terhadap adiknya justru semakin besar. Bukan semakin reda. Sekarang, baru menyusui si kecil sebentar saja, Nisa sudah menunjukkan marahnya. Sudah tak kurang-kurang Mia menyampaikan kepada Nisa bahwa sebagai kakak, Nisa harus sayang sama adik. Tetapi, Nisa semakin keras saja. Rasa cemburunya semakin menyala-nyala.

Apa yang salah sebenarnya dengan Nisa? Tak ada yanga salah. Nisa berseteru dengan adiknya karena cemburu. Bahasa psikologinya sibling rivalry (persaingan antarsaudara). Rasa cemburunya besar, dan bahkan cenderung menolak adik, karena memang dia diperlakukan sebagai anak tunggal oleh ibunya. Pada saat yang sama, Mia sebagai ibunya tidak mempersiapkan anak untuk memiliki adik. Dia tidak menumbuhkan keinginan, harapan, dan bayangan tentang apa yang bisa Nisa lakukan untuk adiknya kelak. Mia juga tidak menata mental anak menghadapai perubahan menjelang adiknya lahir.

Seperti Mia, banyak diantara kita yang tidak merencanakan kelahiran dengan baik. Anak-anak kita punya adik karena adiknya memang sudah lahir. Ia lahir begitu saja. Dan tiba-tiba sesudah kelahiran, segala sesuatu berubah. Kita juga sendiri berubah. Berubah karena harus ada yang kita hadapi, anak kita yang baru lahir denga tangis dan pipisnya. Kita berubah bukan karena secara sengaja merencanakan untuk berubah, mengiringi kelahiran anak kita.

Ujung-ujungnya, kita terjebak oleh ketakutan dan mendapat pembenaran dari repotnya menangani anak. Punya anak satu saja repot, apalagi dua. Punya anak dua lebih repot, kok mau tiga. Padahal hitung-hitungnya tidak demikian. Punya anak satu memang repot, karena sumber perhatian anak hanya dari orangtua. Punya anak dua? Sama saja. Sama-sama repot, karena mereka cenderung bersaing berebut perhatian. Tetapi tidak kalau anak sudah tiga atau empat. Mereka akan belajar bekerja sama. Tetapi, bukankah melalui peristiwa semacam ini mereka belajar keadilan? Sayangnya sumbu emosi kita begitu pendek sehinnga mudah naik pitam saat mereka bertengkar. Apalagi kalau kita sedang capek.

Saya tidak berpanjang-panjang dengan ini, sebab masalah paling pokok umumnya adalah sikap kita yang tidak mau direpoti oleh anak. Berapapun anak yang kita asuh kalau kita memang tidak mau repot, kehadiran mereka akan sangat merepotkan kita, sekalipun mereka sudah menjadi anak-anak manis yang sangat menyenangkan. Seperti halnya keengganan kita menemani anak dengan berlindung di balik ungkapan terindah yang pernah saya dengar,

“Yang paling penting kan kualitas, bukan banyaknya waktu yang kita habiskan bersama anak.”

Kita ungkapkan itu dengan mantap, tetapi lupa menakar waktu berkualitas itu yang seperti apa. Kita juga lupa bertanya, waktu berkualitas itu menurut kita atau menurut anak. Jangan-jangan yang kita anggap waktu berkualitas bersama anak, sesungguhnya bagi anak sama saja dengan waktu-waktu lain. Sama-sama tak berarti. Sama-sama membosankan.

Berawal dari sikap tidak mau direpoti anak, jalan pintas kerap menjadi pilihan yang kita ambil tanpa sadar. Begitu anak menangis, atau bikin kita merasa repot-termasuk repot karena pertanyaan-pertanyaan cerdas anak-cepat-cepat kita berikan televisi pada mereka. Kita berikan mereka mimpi-mimpi tentang asyiknya melihat benda ajaib benama televisi, “Eee, coba. Kita lihat, yuk . . . . Bagus lho acara televisinya.” Anakpun segera bergegas lari mematut diri di depang televisi. Lama sekali. Begitu lamanya sampai-sampai kita lupa bahwa amat banyak hal yang telah mempengaruhi otak dan diri anak, hingga ketika beberapa waktu kemudian tampak perilaku yang tidak menentramkan hati, kita marah pada cara televisi. Anehnya, kita tetap rawat dan sayang-sayangi kotak kaca ajaib itu.

Ah . . . , betapa anehnya kita hari ini. Merusak tapi dicintai. Atau saya yang semakin bodoh? Tidak mampu memahami bahwa hidup di dunia modern memang harus memiliki semua yang disebut modern?

Baiklah, kita kembali berbincang tentang televisi. Sekurangnya ada dua hal yang membuat kita perlu mempertimbangkan kembali kehadiran televisi di rumah kita, sekurangnya mengurangi kehadirannya dalam kehidupan anak kita. Pertama, televisi menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan merusak terutama sekali kecerdasan spasial di otak sebelah kanan. Kedua, semakin banyak nonton televisi, anak semakin kurang bergerak. Padahal, seperti yang ditukis Carla Hannaford, Ph.D. dalam Smart Moves: Why Learning is not All in Your Head, gerakan membangkitkan dan mengaktifkan kapasitas mental kita. Gerakan menyatukan dan menarik informasi-informasi baru ke dalam jaringan neuron kita. Gerakan sangat vital bagi semua tindakan untuk mewujudkan dan mengungkapkan pembelajaran kita, pemahaman kita dan diri kita.

Alhasil, jangan terkejut jika anak kita mengalami gangguan mental maupun gangguan belajar, sementara kita tahu dengan pasti bahwa ia sejak kecil selalu ditimang-timang oleh televisi. Jangan bertanya, gen siapa yang menyebabkan anak bermasalah sehingga menampakkan perilaku seperti anak autis jika kitalah sebenarnya sebagai orangtua yang memperlakukan mereka secara autis. Kita jarang mau bicara karena setiap kali mereka rewel, cepat-cepat kita menyalakan televisi.

Tetapi, bukan ini perbincangan kita saat ini. Saya sebenarnya cuma mau bertutur bahwa kecemburuan anak tehadap adiknya, lebih-lebih yang sampai pada tingakat menolak, sebenarnya kerap kali bersumber pada sikap awal kita. Saya Cuma nau berbincang bahwa tingkah laku mereka yang sangat merepotkan, tidak jarang justru berawal dari sikap kita yang tidak mau direpoti anak. Meski pada sebagian besar kasus, perilaku mereka yang bikin kita geleng-geleng kepala dan mebuat ibunya mengelu-elus dada sebenarnya karena kecerdasan mereka yang luar biasa.

Pada usia di bawah 10 tahun, kadang bahkan berlanjut hingga usia sesudahnya, manifestasi kecerdasan itu adalah gerakannya yang sangat aktif. Sesudahnya adalah kemampuan berpikir yang sangat krtis, cerdas dan kreatif.

Emmm . . . jangan salah paham. Saya bukan orangtua yang luar biasa. Saya masih merasa betapa merepotkannya mereka. Saya juga masih sering marah. Tetapi, tak ada lagikah bagi kita ruang untuk saling bertegur-sapa, saling mengingatkan, saling menasihati, dan termasuk saling memberi tahu agar tidak melelahkan diri sendiri dengan sumber pengaruh yang kita tidak mampu mengendalikan isinya sepuluh menit yang akan datang, yakni televisi?

Heee…. semoga bermanfaat…..

Info Konsultasi Anak :

“Kak Wien Centre”

Phone : 021 87987089 ( Sdri. Devi / Nurul )

'SMART" Parenting.......

Bina Kreatif Talk About …….

ANAK-ANAK KARBITAN

I. Anak-anak yang Digegas Menjadi Cepat Mekar, Cepat Matang, Cepat Layu...

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana-mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa.

Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk

pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan.

Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua ...

Captive market! Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di internet dan literatur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini

melakukan kesalahan. Di samping ketidak-patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidak-tahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas...

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidak-patutan terhadap anak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan Kecakapan - kecakapan akademik di dalam dan di luar sekolah.

Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater.Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya dibidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian? James Thurber seorang wartawan terkemuka pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, dimana seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin. Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan mcnggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca Ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun ia membaca enam buah buku dan koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 tahun ia menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa.

Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.

Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu. Seperti halnya Einstein yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak

bebal yang suka melamun.

Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan "Early Childhood Training". Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasannya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang memfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidak-seimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang dimana-mana, di Indonesia. "Early Ripe, Early Rot...!" Gejala ketidak-patutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1990 di Amerika. Saat orangtua dan para profesional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan "peluang emas" bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah "Era Headstart" merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak. Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal "The Process of Education" pada tahun 1990, la menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika . "We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any stage of development". Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang disalahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk... early ripe, early rot ! Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.

Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep "kesiapan-readiness" dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang "biological limitations on learning'. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan intervensi dini dan rangsangan intelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.

Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak-anak menjadi "miniatur orang dewasa ". Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet.

Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingin-tahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa, sebagai seksual

promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat.

Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnya saat perilaku anak menampilkan gaya "kedewasaan ", sementara perasaannya menangis berteriak sebagai "anak".

Dampak berikutnya terjadi ... ketika anak memasuki usia remaja. Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut. Patricia O'Brien menamakannya sebagai "The Shrinking of Childhood". “Lu belum tahu ya... bahwa gue telah melakukan segalanya", begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. "Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks " serunya bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar.... kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang, …

Sebuah proses dalam kehidupannya !

Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga "baby sitter" sebagai pengasuh anak-anaknva. Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai "Cinderella Syndrome" yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi menghindari kehidupan nyata yang mereka jalani.

Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut berbagai les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby-sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang para baby-sitter ini mengikuti pendidikan parenting di Lembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.

Era SUPERKIDS / era ANAK MAMA / era ANAK HEBAT

Kecenderungan orangtua menjadikan anaknya "be special" daripada "be average or normal" semakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin anak-anak mereka menjadi "to excel, to be the best". Sebetulnya tidak ada yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket, tari balet, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya... maka lahirlah anak-anak super---"SUPERKIDS' ". Cost merawat anak Superkids ini sangat mahal. Era Superkids berorientasi kepada "Competent Child". Orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya "earlier is better". Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik. Neil Postman seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah... ketika anak anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan !

Berbagai Gaya Orang Tua

Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan "miseducation" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara lain:

Gourmet Parents --- (ORTU B0RJU)

Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, dengan gaya hidup kebarat baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya membangun karier, maka "Superkids" merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai orangtua.

Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknva baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok orangtua "gourmet " atau kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents --- (ORTU INTELEK)

Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya membantu membuat majalah dinding, dan kegiatan ekstra kurikuler lainnya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka "Superkids", apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas. Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.

Gold Medal Parents --- (ORTU SELEBRITIS)

Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan anaknya ke berbagai kompctisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia. Ada juga gelanggang seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan merijadi "seorang Bintang Sejati ". Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi "Sang Juara", mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis hingga None Abang Cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK. Sebagai ilustrasi, dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di mulainya Lomba Pakaian Adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta . Anak-anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara anak kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk anak-anaknya bersabar, mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan keluar sebagai pemenang sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas kertas.

Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi kelompok Gold Medal Parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang gadis kecil pesenam usia TK mengalami kelainan tulang akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus "bintang cilik" Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya, kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Gold Medal Parents menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka !

Beberapa waktu yang lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik "Joshua" yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya. Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara. kemudian di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan anaknya seorang "Superkid" seorang penyanyi sekaligus seorang bintang film....

Do-it Yourself Parents

Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di tempat ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya "Superkids" -- earlier is better". Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents --- (ORTU PARANOID)

Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep "Superkids" Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya. Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya "Karate, Yudo, Pencak Silat" sejak dini. Ketidak patutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi "steril" dengan lingkungannya.

Prodigy Parents --(ORTU INSTANT)

Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, namun tidak berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya.

Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku tentang "Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Membaca" karangan Glenn Doman , atau "Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika" karangan Siegfried, "Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang"

karangan Therese Engelmann, dan "Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 9 Hari" karangan Sidney Ledson .

Encounter Group Parents --- (ORTU NGERUMPI)

Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan. Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang-lantung). Terkadang mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidak-patutan dalam mendidik anak-anak dengan berbagai perilaku "gang ngrumpi" yang terkadang mengabaikan anak. Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya.

Menjadikan anak-anak mereka sebagai "Superkids" juga sangat

diharapkan. Namun banyak dari anak anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

Milk and Cookies Parents ---(ORTU IDEAL)

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.

Kelompok ini tidak berpeluang menjadi orangtua yang melakukan "miseducation" dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Mereka memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.

Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah yang menyenangkan.

Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar.

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya.

Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar scorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik!

“Kamu harus tahu bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih kuat, atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti daripada kenangan indah terutama kenangan manis di masa kanak-kanak.

Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang indah, kenangan berharga yang tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu pendidikan yang terbaik. Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan indah di masa kecilnya, maka kelak seluruh kehidupannya akan terselamatkan. Bahkan apabila hanya ada satu saja kenangan indah yang tersimpan dalam hati kita, maka itulah kenangan yang akan memberikan satu hari untuk keselamatan kita" (destoyevsky' s brothers karamoz)

II. Perspektif Sekolah Yang Mengkarbit Anak

Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada produk dari pada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah "Industri" dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja.

Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai "operator kurikulum" dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah. Sebagai guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat menjadi "pengabar isi buku pelajaran" ketimbang menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu sekolah akan menggunakan "mesin-mesin dalam menskor" capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan mata pelajaran.

Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di sekolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak. Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di pemerintahan?

Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran?

Tumpulnya rasa dalam mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak menjadi semakin senjang.

Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah… dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk.... Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk menyongsong kehidupannya !

Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan "pedagogy of the oppressed" terhadap anak-anak

didiknya. Dimana guru mengajar, anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran (Freire, 1993). Model pembelajaran banking system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah dan persaingan ranking wilayah....

Mengkompetensi Anak --- merupakan " KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN ?"

Anak adalah anugrah Tuhan... sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang bertanggung-jawab. "(Nature versus Nurture) bagaimana?" Karenanya ada dua pengertian kompetensi. Kompetensi yang datang dari kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri. Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita sebagai komponen sentral dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.

Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut : "Give me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to bring them up in, and I'll guarantee you to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select -- doctor, lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and thief regardless of his talents, penchants, tendencies, vocations, and race of his ancestors "

Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan "intervensi dini" setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New Jersey pada tahun 1979. Dimana guru-guru melakukan serangkaian program tes untuk mengukur "Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill ) " dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari pelaksanaan program ini dilaporkan kolumnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times sebagai berikut : "The improvement in those areas were not the result of any magic program or any singular teaching strategy, they were... simply proof that accountability is crucial and that, in the past five years, it has paid off in New Jersey"

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah, semestinya kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika dibuatkan kompetensi-kompetensi perolehan pengetahuan hanya secara kognitif.

Oleh karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran. Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti emosi, sosial, kognitif, fisik dan moral belum dapat dikemas dalam pembelajaran di sekolah secara terintegrasi.

Sementara pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan.

Bukan anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja ! Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat dan keingin-tahuan untuk belajar.

Anak mengenali tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku keingin-tahuan - "curiosity" inilah yang banyak tercabut dalam sistem persekolahan kita. Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan! "Empty Sacks will never stand upright " --- George Eliot

Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui kecakapan akademik semata ! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun secara bersamaan, pikiran, hati, fisik, dan jiwa yang dimiliki anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan fisik anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari "karakter". Dimana mereka mendidik anak menjadi "good and smart", terang hati dan pikiran Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan "how learn to learn" pada anak didik mereka.

Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi, dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina dengan baik yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan berbagai kreativitas.

Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya berjam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia. Thomas Edison mengatakan bahwa "Genius is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration ".

Semangat belajar "encourage" tidak dapat muncul tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang melibatkan hati, kesukaan dan kecintaan belajar. Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak.

Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental adalah mengalirkan "moral literacy" melalui pendidikan karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King, Jr ).

lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik....

III. Akhir Episode

Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang terang hati dan terang pikiran "good and smart" merupakan tugas kita bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, khususnya antara guru dan orangtua.

Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi adalah ketidak-seimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan mengabaikan faktor emosi.

Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi "SUPERKIDS". Inilah fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari lahirnya era anak-anak karbitan! Lihatlah nanti ketika anak-anak karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang

dewasa yang ke kanak-kanakan.

Diambil dari Diskusi Panel “ Meng-optimalkan anak Secara natural ”

KEDEKATAN ORANG TUA

Pertemanan orang tua – anak
KEDEKATAN TANPA BATAS
DAPAT MENJERUMUSKAN ANAK


Dekat dengan anak dapat diperoleh dengan cara berteman dengan anak. Keinginan orang tua untuk merasa dekat dengan anak didasarkan pada kenyataan bahwa mereka mempunyai hubungan yang berjarak dengan orang tuanya pada masa kecil dulu. Akibatnya anak menjadi tidak mempunyai keberanian untuk mengeksplorasi lingkungannya. Namun di masa sekarang ini untuk berteman dengan anak hingga merasa dekat tidak semudah mengucapkannya. Kesibukan kedua orang tua mencari nafkah, membuat mereka harus pandai mengatur waktu luang. Sayangnya, dalam pemanfaatan waktu ini banyak orang tua yang terjebak untuk mengikuti semua keinginan anak. Semua ini dilakukan agar si anak merasa senang dan ingin mencuri simpati anak. Hal ini bisa juga manifestasi rasa bersalah dari orang tua karena meninggalkan anak untuk bekerja. Yang terjadi akhirnya hubungan pertemanan yang tanpa batas. Padahal hal ini berdampak pada hilangnya respek dan wibawa orang tua.
Lalu apa yang harus dilakukan orang tua agar tidak terjebak pada pertemanan tanpa batas ini?
Berteman seharusnya adalah hubungan yang seimbang dan sejajar. Kedua hal itu menyebabkan orang tua harus menanggalkan “pekerjaan” sebagai orang tua seperti melindungi, mengajar, mendidik, menerapkan disiplin. Sementara anak juga membutuhkan orang yang lebih tua, yang lebih bijaksana dan membutuhkan perasaan aman saat dibawah bimbingan orang tua. Itulah sebabnya orang tua diharapkan jangan membawa konsep berteman terlalu jauh karena anak juga membutuhkan orang tua untuk membimbing,mengajar dan melindunginya.

Berteman dengan anak membutuhkan kiat- kiat tersendiri. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dan dilakukan orang tua, yaitu:
1. Memahami kebutuhan anak. Caranya dengan melihat keberadaan anak sesuai usianya. Misalnya pada anak usia 3 tahun , apa saja kebutuhannya baik dari sudut sosial, emosi dan intelegensi.
2. Mengetahui sifat, watak dan karakter anak. Ini penting karena orang tualah yang paling dekat dengan anak. Apa kecenderungan anak, apakah tipe ekstrovert atau introvert. Orang tua juga perlu mengetahui tipologi gaya belajar anak apakah visual, kinestetik atau auditif. Cara belajar ini mempengaruhi perkembangan kepribadian anak,karena belajar merupakan proses perubahan tingkah laku. Sementara kepribadian merupakan proses akumulasi psikofisik yang terwujud dalam perilaku. Karena itu orang tua perlu memahami proses belajar anak untuk mengembangkan kepribadiannya.
3. Berempati dan bersimpati pada anak. Anak yang memiliki hari- hari aktif tentu juga mengalami stress, sehingga diperlukan empati dan simpati orang tua dalam berkomunikasi.
4. Melihat dari perspektif anak. Orang tua jangan hanya mengatur, menyoroti dan melarang anak. Anak mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang tua, karena pengalaman dan pengetahuannya belumlah sebanyak orang tua. Oleh sebab itu cobalah memahami anak dengan komunikasi yang hangat. Cara ini sangat efektif untuk mengubah perilaku anak. Misalnya, saat orang tua ingin melarang anaknya menonton film yang banyak adegan kekerasannya, maka orang tua juga harus ikut nonton dan mencari tahu apa yang membuat anak tertarik menonton film tersebut.
5. Menurunkan level. Tempatkan posisi orang tua sama dengan anak tidak hanya secara fisik tapi juga gaya bahasa dan isi pembicaraan. Anak akan merasa bahwa orang tuanya bukan orang yang powerful. Ini memungkinkan anak tampil apa adanya. Dengan cara ini komunikasi pun bisa berjalan.
6. Tetap tegas pada aturan.Aturan tetaplah aturan, harus tetap disampaikan pada anak. Jangan melemah karena suatu situasi. Tetap konsisten agar anak tidak bingung dan mempergunakan kesempatan. Jangan takut melihat anak sedih, kecewa, menangis dan merajuk, karena anak juga perlu merasakan negative feelings.
Berbagai manfaat diperoleh orang tua dan anak setelah hubungan yang dekat terjalin antara lain :
1. Anak menjadi lebih terbuka pada orang tua dan berani tampil apa adanya.
2. Dari hubungan pertemanan ini anak jadi lebih mengerti perasaan orang tuanya atas apa yang diperbuatnya. Jadi semua keinginan orang tua dapat ditangkap oleh anak. Kalau anak berbuat baik, itu bukan karena takut tapi karena ia tahu bahwa perbuatannya itu dapat menyenangkan orang lain dan dirinya sendiri.
3. Hubungan yang dekat ini membuat anak lebih mudah mengimitasi perilaku orang tuanya. Ini memudahkan orang tua mengajarkan perilaku kepada anak.
4. Anak lebih peka terhadap bahasa emosi yang disampaikan orang tuanya.
Yng penting orang tua paham peran sebagai pendidik, sumber kasih sayang, pengasuh, dan pemberi perlindungan, tidak lupa memberikan peraturan dan disiplin.
Anak yang dirumah terbiasa “selalu senang” ini dan segala keinginannya selalu dituruti akan mengalami masalah saat berada disekolah nanti.Akan terjadi benturan ketika aturan di kelas dan di rumah bertemu. Adanya benturan ini membuat anak melihat ambivalensi, antara apa yang didapat dirumah dengan disekolah. Misalnya anak yang dirumah terbiasa dibantu dan menyuruh maka ketika di sekolah menemukan kesulitan, maka ia tidak dapat mengerjakan sendiri. Ibu guru yang paham biasanya meminta anak mengerjakan sendiri sambil mengajari. Masalah lain yang timbul bila anak tetap tidak berubah saat bertemu teman- temannya. Ia akan dijauhi oleh teman- teman.. Hal yang paling menyakitkan bagi seorang ank adalah apabila terjadi reaksi penolakan(rejection) dari teman- temannya. Akibatnya anak tidak mau sekolah. Apakah anak bisa cepat berubah atau tidak maka tergantung pada ketahanan emosional anak tersebut.
Untuk menyelesaikan masalah biasanya sekolah melakukan home visit. Tapi inipun tergantung pada manajemen sekolah apakah bersifat modern atau tradisional.
Pola interaksi anak dengan orang tua juga merupakan contoh bagi anak untuk berinteraksi dengan orang dewasa lain. Kalau dengan orang tua terlalu bebas, cara bicara bebas, tidak punya tata karma, sopan santun, mudah melawan tapi bukan argumentative anak akan jadi pembangkang. Dan orang lain belum tentu bisa menerima hal ini.
Semoga bisa menjadi bahan renungan ……

Bina Kreatif 2008
Info Konsultasi ( 021 ) 87987089 Sdri DEVI

SEMINAR PSIKOLOGI ( Sasaran Orang tua dan pelaku Pendidikan)

SEMINAR PSIKOLOGI ( Sasaran Orang tua dan pelaku Pendidikan)
Tujuan : Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada orang tua tentang perkembangan psikologi dan perkembangan emosional anak, sehingga bisa mencari solusi permasalahan anak dengan tepat.

"SMART Parenting Bina Kreatif Kids Care"

"SMART Parenting Bina Kreatif Kids Care"
"Sekolah yang baik adalah sekolah yang bisa meng-akumudir style dan potensi anak, jadi sekolah yang favorit menurut kebanyakan orang belum tentu baik untuk anak kita."Cuplikan dialog (Red)

KANTOR " BINA KREATIF "

KANTOR " BINA  KREATIF "
Alhamdulillah Kantor sekaligus tempat berbagi pengetahuan tumbuh kembang anak telah dioprasikan. Ingin Info lebih banyak silahkan Hubungi Management BKKC : 021 95192514 semoga banyak manfaatnya. Amin.

TEAM BINA KREATIF KIDS CARE

TEAM  BINA KREATIF KIDS CARE
Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing - masing , tugas kita sebagai orang tua hanyalah membimbing , mengarahkan dan mendidiknya dengan baik. Kesabaran dalam mengasuh anak adalah kunci utama keberhasilan menjadikan anak - anak yang hebat , berakhlaq dan cerdas.
 

INFO 2009

INFO  2009

CONSULTING INFORMATION

CONSULTING  INFORMATION

INGIN KONSULTASI PSIKOLOGI

INGIN  KONSULTASI PSIKOLOGI