SMART PARENTING SD IT ASSA'ADAH JKT


Bina Kreatif Talk about…

PERAN ORANG TUA DAN GURU DALAM
MENYIKAPI PROBLEM ANAK DI SEKOLAH
Disusun oleh: Tim BINA KREATIF



Disuatu kesempatan konsultasi, kami pernah menjumpai seorang ibu yang merasa kebingungan dengan tingkah anaknya yang sekarang duduk di kelas 2 SD. Masalahnya si buah hati, sebut saja namanya Ari sudah hampir sebulan ini mogok sekolah dan terkesan malas – malasan belajar. Padahal menurut sang ibu, Ari dulunya termasuk anak yang pandai. Ia mulai bisa membaca dan berhitung pada usia 3 tahun. Ketika Ari mengikuti psikotes kecerdasan, nilai IQnya tergolong tinggi dan masuk dalam kategori Very Superior. Di TK dulu, Ari meraih predikat anak berprestasi dan termasuk anak yang paling menonjol dibandingkan teman – teman lainnya. Suatu kondisi yang menurut orang tuanya, Ari akan sanggup melewati masa- masa pendidikan di SD dengan mudah. Wajar saja orang tua Ari menjadi bingung dengan kenyataan yang ada saat ini. Ketika kami adakan observasi lebih lanjut, terungkap kalau Ari sudah masuk ke SD ketika masih berusia 5 tahun. “ Habis gimana ya Pak Win…….. kan sayang kalau anak sepandai Ari harus nganggur setahun untuk masuk SD. Apalagi saat itu Ari sangat semangat sekali ingin sekolah.”

Tugas pengasuhan anak dan pendidikan anak yang paling utama sebenarnya adalah di rumah. Keluarga adalah teladan bagi anak untuk mempelajari segala sesuatu baik yang bersifat akademis maupun non akademis, yang bersifat verbal maupun non verbal. Orang tualah yang bisa bertindak sebagai observer,guru,pengasuh,dan pendidik yang baik bagi anak anaknya. Orang tua paling tahu sifat dan karakter anak,kelebihan dan kekurangan anak sehingga sebagai orang yang pertama paham bagaimana cara memperlakukan anak. Pola asuh yang diterapkan orang tua di rumah secara tidak langsung akan berimbas ke lingkungan sekolah.
Lalu bagaimana agar terjadi keselarasan antara pendidikan anak di sekolah dan dirumah? Yang paling penting adalah adanya komunikasi yang baik antara pihak sekolah terutama guru kelas dengan orang tua.

Tugas pendidikan anak tidak bisa dibebankan sepenuhnya ke sekolah. Memasukkan anak kesebuah sekolah tidak seperti menitipkan bahan kain ke penjahit yang setelah menjadi sebuah baju bisa langsung dipakai. Begitu orang tua memutuskan akan memasukkan anaknya ke sebuah sekolah, saat itu pula sudah ada komunikasi antara sekolah dan orang tua. Pihak sekolah sudah harus terbuka mengenai materi pelajaran, sistem pengajaran dan fasilitas apa saja yang akan diberikan selama kegiatan sekolah berlangsung. Pihak sekolah bertanggung jawab untuk memberikan cara- cara belajar kepada anak- anak dan orang tua bertanggung jawab membantu belajar anak dan memberi motivasi kepada anak.

Dibutuhkan kerjasama yang baik antara orang tua dan sekolah. Mungkin kerjasama yang diharapkan tidak mudah untuk dilaksanakan. Hal ini bisa saja karena keterbatasan waktu pertemuan guru dengan orang tua bisa karena kedua orang tua bekerja ataupun karena faktor orang tua tunggal.
Orang tua perlu mengetahui target pencapaian pendidikan disekolah, untuk kemudian berkolaborasi dengan guru mendorong anak mencapai target yang diinginkan. Contoh sederhana seperti yang dialami Fira (nama samaran) berumur 6,7 tahun seorang murid kelas 1 Sekolah Dasar. Waktu di TK dulu, Fira termasuk anak yang mandiri. Namun entah mengapa diawal masuk Sekolah Dasar Fira tidak mau ditinggal ibunya. Ibu harus tetap berada di sekolah dan berdiri di balik jendela supaya terlihat olehnya. Kondisi ini sempat berjalan 3 bulan. Setelah ditelusuri ternyata Fira termasuk anak yang agak lambat beradaptasi dengan lingkungan baru dan akibat pengaruh pola asuh orang tua yang sedikit otoriter. Fira mengalami krisis percaya diri. Kondisi ini diperparah karena guru kurang tanggap menyikapi permasalahan anak. Guru menganggap ini adalah hal yang wajar mengingat secara akademis Fira tidak mengecewakan dan dari sisi usiapun sudah cukup matang. Akhirnya kami berusaha mempertemukan kedua pihak untuk saling berkomunikasi. Menghadapi kondisi seperti ini guru sebaiknya memulai insiatif untuk berkomunikasi dengan orang tua dan bersama sama mencari jalan keluar permasalahan tersebut. Akhirnya sedikit demi sedikit orang tua Fira berusaha mengubah pola asuh dan cara berkomunikasi dengan anaknya. Bu Guru pun lebih intensif melakukan pendekatan personal ke Fira. Sesekali Bu Guru berkunjung ke rumah Fira atau sekedar menyapa lewat telepon. Akhirnya sedikit demi sedikit rasa percaya diri Fira mulai muncul. Proses ini memang membutuhkan waktu dan tidak bisa instan. sebulan kemudian Fira menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Fira sudah mau ditinggal disekolah sendiri bahkan Bu Guru senang karena Fira sudah berani mengungkapkan keinginan dan perasaan kepada Bu Guru. Suatu pencapaian yang tentu saja melebihi target yang diinginkan.

Untuk masuk ke tingkat Sekolah Dasar setiap anak harus memiliki tingkat kematangan yang cukup. Bagi anak- anak yang baru saja meninggalkan bangku TK, masuk ke SD rasanya sama saja seperti maju ke medan perang. Bayangkan saja, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru, teman- teman yang baru, dan Bu Guru baru yang mungkin saja tidak seramah Bu Guru yang ada di TK. Di SD anak sudah tidak boleh ditunggui oleh orang tua, dan dalam mengerjakan tugas dikelas sudah tidak boleh dituntun oleh Bu Guru,kalau ada PR tidak boleh dikerjakan oleh orang tua, dan banyak hal lagi yang dialami anak. Tidak heran bahwa bulan- bulan pertama masuk kelas satu sebenarnya merupakan bulan depresi bagi anak.

Kemampuan dalam hal kognitif, sosial, skolastik dan fisik pada dasarnya bisa dilatih dengan cepat, namun lain halnya dengan kemampuan emosi. Kematangan emosi tidak bisa di “karbit” karena perkembangannya sejalan dengan pertambahan usia anak. Oleh karena itu bagi orang tua yang ingin memaksakan anaknya masuk SD padahal usianya belum cukup dan kondisi emosionanya belum matang,akan menemukan dampak- dampak yang cukup menyulitkan bagi anak maupun orang tua.

Beberapa dampak yang sering muncul adalah:

1. Anak tidak mau ditinggal orang tua.
2. Anak tidak mandiri dan bergantung pada bantuan guru dalam menyelesaikan tugas-tugas disekolah. Padahal perhatian guru dikelas terbagi untuk anak- anak yang lain. Akibatnya anak tidak pernah sanggup menyelesaikan tugas tugas di sekolah.
3. Kesulitan dalam hal belajar. Kemungkinan anak mampu menyelesaikan tugas, namun karena anak sudah mengalami masa sulit di awal menyebabkan anak merasa terbebani dan kesulitan menyerap materi pelajaran.
4. Sulit menyesuaikan diri dengan teman- teman di kelas.
5. Mogok sekolah dan membolos. pada waktu tertentu anak merasa jenuh dengan kegiatan belajarnya karena beban berat dalam menyelesaikan tugas- tugas sekolah, maupun tuntutan dari orang tua yang selalu menginginkan anaknya meraih prestasi disekolah, atau ketidak mampuannya dalam membina hubungan dengan teman-temannya. Kondisi ini sering muncul ketika anak memasuki kelas tiga.
6. Muncul kenakalan yang bersifat dekstruktif. Ketidak mampuan anak disekolah menjadikan anak mencari pelampiasan yang bisa menarik perhatian. Sayangnya bentuk cari perhatian ini kearah yang negative. Ini terjadi karena anak ingin menunjukkan bahwa ia bisa berkuasa terhadap teman- temannya.Muncullah perilaku suka mengganggu teman, memalak, menindas teman, dll.

Kita semua tidak mau ini terjadi pada anak- anak kita bukan? mulai sekarang mungkin kita harus lebih jeli dan obyektif melihat kemampuan dan kebutuhan anak kita. Jika kita melihat anak kita belum memenuhi persyaratan emosional, tidak ada salahnya menunda usia masuk SD. Tidak perlu malu atau khawatir anak kita tertinggal dari teman- temannya yang lain. Karena langkah ini merupakan langkah terbaik yang bisa diambil. Dengan menunda waktu masuk SD, maka anak jadi punya waktu lebih untuk mengembangkan potensi dirinya dan lebih siap mengikuti pelajaran di SD. Bukankah awal yang baik akan membuka peluang bagi anak untuk lebih berprestasi disekolahnya kelak.
Untuk orang tua yang sudah terlanjur memasukkan anak kejenjang SD dalam kondisi emosional yang belum matang, ada beberapa solusi yang bisa dicoba:
1. Tidak memberi tuntutan yang terlalu tinggi kepada anak. Banyak orang tua yang secara tidak sadar menetapkan standar tinggi untuk prestasi anaknya. Contohnya, nanti kalau kamu dapat rangking 5 besar, mama/papa akan membelikan mainan kesukaanmu. Tapi apa yang terjadi ketika anak tidak bisa mencapai target tersebut? Tidak ada hadiah maupun penghargaan atas jerih payahnya selama ini. Apa yang seharusnya ibu/bapak lakukan? Segera beri reward tanpa harus menunggu hasil “rangking 5 besar”, tetapi langsung saat anak sudah menunjukkan usaha maksimal untuk belajar. Jangan ragu memberikan pujian sekecil apapun usaha positif yang telah ia tunjukkan.
2. Beri motivasi terus menerus, yakinkan anak bahwa ia bisa. Kalaupun ia tidak mampu masih ada ayah dan ibu yang siap membantu.
3. Jadilah sahabat untuk anak. Kita dikatakan berhasil menjadi sahabat bagi anak kalau anak dengan leluasa menceritakan segala hal kepada kita tapa takut dimarahi ataupun dipojokkan. Kalau masih ada yang disembunyikan berarti kita hanya sebatas teman bagi anak.Memang susah menjadi sahabat bagi anak kita ya….. tapi tidak ada salahnya kan kalau mulai detik ini kita coba.Karena bagaimanapun anak butuh orang yang bisa memahami perasaannya disaat ia merasa sedih, cemas ataupun takut.
4. Lakukan pendekatan personal oleh ayah. Kedekatan anak dengan ayah biasanya mampu mestabilkan kondisi emosional anak yang sedang “down”.
5. Pahami gaya belajar anak. Apakah anak kita Style Studynya Visual Style, Auditori Style atau Kinestetik Style.Begtu juga dengan gaya pemrosesan otak anak, apakah Analitik atau Holistic. Dengan memahami cara belajar anak kita, diharapkan kita dapat membantu dan lebih memahami kondisi anak saat belajar.
6. Jangan ragu untuk membina hubungan dengan guru disekolah. Sering berdialog dengan guru tentang kondisi anak akan sangat membantu mengatasi kesulitan anak dikelas. Orang tua tidak bisa menyerahkan tugas mendidik anak 100% kepada guru. Ingat bahwa orang tualah pendidik anak yang utama.
7. Ketika semua usaha sudah dilakukan, jangan pernah berpikir hasilnya akan muncul dengan tiba- tiba. Semua mengalami proses yang cukup memakan waktu. Keberhasilan program tidak lepas dari seberapa intensifnya orang tua, guru dan orang- orang disekitar anak berusaha.

Ayah ibu………,harus diakui Guru di sekolah tidak mempuyai cukup waktu untuk mengoptimalkan setiap aspek kecerdasan anak. Dengan waktu belajar yang singkat dan jumlah murid yang harus ditangani. Untuk itulah kerjasama yang sinergis antara orang tua dan guru harus ditingkatkan.
Sekolah yang baik perlu menerima secara terbuka saran dan kritikan dari orang tua. Karena dengan adanya saran maupun kritikan dari para orang tua menandakan para orang tua peduli terhadap proses pendidikan disekolah tersebut.
Tetap semangat , kreatif dan sabar

Bina Kreatif 2009

SEPUTAR PROBLEMATIKA ANAK


Mama … aku nggak mau belajar , aku capek…
Para orang tua dan guru yang berbahagia, suatu hari saya pernah diminta menjadi pembicara oleh salah satu pengelola TK yang ingin menyelenggarakan program parenting kepada para orangtua muridnya. Tema yang diambilnya waktu itu ada CALISTUNG kependekan dari Baca, Tulis dan Hitung. Saya bertnya pada penyelenggara, apa yang diharapkan dari saya melalui tema ini?
Begini, kami ingin memberikan pemahaman pada para orang tua bahwa di sekolah ini, kami belum mengajarkan Baca, Tulis dan hitung kepada anak di usia yang sangat dini. Namun masalahnya, para orangtua tetap saja ngotot dan terus meminta anaknya agar diajari Baca, Tulis dan Hitung.
Kemudian saya bertanya lagi, “apa alasan para orang tua meminta anaknya diajari Baca, Tulis dan hitung?”
Karena hampir semua sekolah dasar mewajibkan anak kelas 1 yang baru mendaftar harus sudah bias Baca, Tulis dan hitung.
Para orangtua dan guru yang berbahagia, saya tidak pernah lupa kejadian ini. Saya juga heran dari mana asal-usulnya, mengapa setiap sekolah dasar mewajibkan siswa baru kelas satunya bisa CALISTUNG. Padahal jika kita bandingkan dengan pendidikan - pendidikan anak usia dini yang ada di Negara - negara maju, sama sekali tidak ada kewajiban semacam ini. Program untuk anak usia dini mayoritas adalah bermain. Karena bermain, bagi anak-anak, sama dengan belajar. Mereka baru diperkenalkan Baca, Tulis dan Hitung pada kelas tiga sekolah dasar (Elementary).
Secara ilmiah, baru-baru ini saya membaca bahwa anak usia dini baru bisa memfokuskan organ visualnya pada objek tiga dimensi, oleh karenanya, alat-alat pembelajaran anak usia dini yang baik adalah berbentuk tiga dimensi. Apabila anak usia dini dipaksa untuk belajar CALISTUNG yang pada umumnya menggunakan objek dua dimensi atau tulisan di papan tulis, maka si anak akan mengalami gangguan organ visual pada usia yang lebih muda.
Para orang tua dan guru yang berbahagia , tahukah anda mengapa sekolah-sekolah yang ada di Negara maju tidak menekankan pada aspek Baca, Tulis dan Hitung, melainkan lebih menekankan pada aspek pengembangan kreativitas dan kemampuan berpikir / nalar anak?
Menurut penelitian ilmiah, secara global kemampuan otak manusia yang berkaitan dengan pembelajaran terbagi menjadi tiga hal besar. Pertama adalah kemampuan kreatif, kedua adalah kemampuan berfikir / nalar, dan ketiga adalah kemampuan mengingat.
Dari ketiga kemampuan ini, kemampuan mengingat merupakan kemampuan alami yang berifat pelengkap, sementara kemampuan kreatif dan berfikir mrupakan kemampuan utama dan vital yang akan membantu anak untuk mencapai sukses di kehidupannya kelak.
Keberhasilan hidup seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuan kreatif dan berfikirnya ketimbang kemampuan mengingatnya, atau dengan kata lain kemampuan mengingat (short term memory) hanya sebagai pelengkap saja.
Namun sayangnya, yang terjadi pada system pendidikan kita malah sebaliknya. Sejak usia dini anak-anak sudah dipaksa untuk bisa CALISTUNG, yang sesungguhnya hanyalah sebuah proses untuk mngembangkan kemampuan mengingat jangka pendek anak (Short Term Memory Learning).
Ternyata proses ini tidak hanya berhenti di suia dini saja, namun hingga dewasa mereka terus diajar dan diuji berdasarkan kemampuan mengingatnya dan bukan kemampuan kreatif atau nalarnya.
Para orangtua dan guru yang berbahagia, berikut ini adalah salah satu contoh pertanyaan yang dulu pernah diujikan pada saat kita masih bersekolah.
Apa yang terjadi antara 1825 s.d. 1830 ? Masih ingat pelajaran sejarah ? ya, pasti jawabannya adalah perang diponegoro. Para orangtua dan guru yang berbahagia, sementara saya pernah tanyakan pertanyaan yang sama pada anak-anak TK.
“Nak, siapa yang tahu apa yang terjadi antara 18.25 s.d. 18.30 ? Tiba-tiba seorang anak berteriak,” saya tahu! Saya tahu! Itu waktunya adzan maghrib. “ Bagaimana menurut anda, salahkan jawaban anak ini? Tentu saja jika ini menjawab untuk soal ujian nasional pasti akan disalahkan.
Para Orang tua dan guru yang berbahagia, sejak kecil kita tidak pernah dinilai berdasarkan nalar kita dalam menjawab soal-soal. Sejak kecil kita juga tidak pernah diberi pertanyaan yang menggunakan nalar / berfikir seperti :
Apa yang terjadi jika minyak bumi Indonesia habis ? Apa akibatnya ? ya, saat hal itu terjadi maka masyarakat kita menjadi panic. Karena sejak dulu tidak pernah dipertanyakan, apa lagi sempat dipikirkan.
Para orang tua dan guru yang berbahagia, begitulah anak-anak kita telah dibesarkan dengan system pendidikan yang tidak melatih untuk berfikir kreatif. Jadi, wajar saja jika saat ini jumlah pengangguran baru dari lulusan akademi dan universitas terus membengkak. Sementara para pelajar lulusan SMA dan ederajat terus berebut menyerbu perguruan tinggi yang pada akhirnya juga akan menjadikan mereka hanya sebagai calon-calon pengangguran baru. Sayangnya ternyata mereka juga tidak menyadari hal ini, karena memang tidak pernah dilatih untuk memikirkannya.
Para orangtua dan guru yang berbahagia, mari bersama-sama kita ciptakan sitem pembelajaran yang mengasah kemampuan berfikir anak! Bukan sekedar hafalan. Agar kelak mereka bisa melihat dan menciptakan peluang-peluang baru, bukannya melihat dan menciptakannya masalah baru bagi bangsa ini!
Ingat, pasar bebas tenaga kerja sudah di depan mata. Zaman ketika persaingan kualitas manusia akan semakin ketat! Apakah kelak anak-anak kita akan menjadi budak atau tuan rumah di negrinya sendiri, kitalah yang paling bertanggung jawab.
Sebuah catatan artikel menarik tentang membaca dan menulis menjelaskan sebagai berikut :
Anak yang diajari menulis dan membaca lebih awal ternyata membaca buku dan membuat tulisan jauh lebih sedikit daripada anak yang diajarkan baca dan menulis kemudian. Jauh lebih penting untuk menjaga rasa ingin tahu anak dengan mengembangkan kreativitas individunya daripada mengajarinya untuk membaca dan menulis diusia dini.
Dan mungkin itulah sebabnya, kita semua, para orangtua yang dulu sejak kecil sudah di paksa untuk bisa membaca agar dianggap anak pintar dan mendahului anak lain, tetapi ironisnya kini malah menjadi orangtua yang jarang atau malas membaca. Apalagi untuk membuat tulisan.
Begini penjelasan alamiahnya. Apabila yang pertama kali dirangsang adalah otak kreatif dan rasa ingin tahu anak, maka anak-anak akan menyimpan segudang pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Semakin banyak yang ingin diketahui anak maka semakin besar pula usaha untuk mencari jawabannya. Oleh karena itu, keinginan anak yang terpendam tersebut akan meledak apabila kemudian dia baru diajari bagaimana cara membaca dan menulis. Maka anak ini akan menjadi keranjingan untuk membaca dan menulis karena begitu banyak pertanyaan yang harus segera dijawab dan begitu banyak pengetahuan baru yang harus dia tulis.
Namun sebaliknya, jika yang dirangsang pertama adalah membaca dan menulis, maka otak kreatif anak ini tergantung dari rangsangan awalnya dan memiliki periode kritis hingga usia 12 tahun. Anak yang waktunya lebih terfokus untuk belajar membaca dan menulis sama sekali tidak memiliki ketertarikan, tidak punya pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab, oleh karenanya dia tidak banyak menggunakan kemampuan baca tulisnya.
Mungkin itulah alas an mengapa system pembelajaran di kebanyakan Negara maju lebih mementingkan kreativitas daripada kemampuan membaca dan menulis pada anak-anak di usia dini.
Mari kita renungkan kembali, seperti apakah anak-anak kita dirumah dan disekolah telah dididik?
Bina Kreatif Desember 2009

SEMINAR PSIKOLOGI ( Sasaran Orang tua dan pelaku Pendidikan)

SEMINAR PSIKOLOGI ( Sasaran Orang tua dan pelaku Pendidikan)
Tujuan : Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada orang tua tentang perkembangan psikologi dan perkembangan emosional anak, sehingga bisa mencari solusi permasalahan anak dengan tepat.

"SMART Parenting Bina Kreatif Kids Care"

"SMART Parenting Bina Kreatif Kids Care"
"Sekolah yang baik adalah sekolah yang bisa meng-akumudir style dan potensi anak, jadi sekolah yang favorit menurut kebanyakan orang belum tentu baik untuk anak kita."Cuplikan dialog (Red)

KANTOR " BINA KREATIF "

KANTOR " BINA  KREATIF "
Alhamdulillah Kantor sekaligus tempat berbagi pengetahuan tumbuh kembang anak telah dioprasikan. Ingin Info lebih banyak silahkan Hubungi Management BKKC : 021 95192514 semoga banyak manfaatnya. Amin.

TEAM BINA KREATIF KIDS CARE

TEAM  BINA KREATIF KIDS CARE
Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing - masing , tugas kita sebagai orang tua hanyalah membimbing , mengarahkan dan mendidiknya dengan baik. Kesabaran dalam mengasuh anak adalah kunci utama keberhasilan menjadikan anak - anak yang hebat , berakhlaq dan cerdas.
 

INFO 2009

INFO  2009

CONSULTING INFORMATION

CONSULTING  INFORMATION

INGIN KONSULTASI PSIKOLOGI

INGIN  KONSULTASI PSIKOLOGI